REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak adanya langkah-langkah strategis untuk mengatasi lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang berbasis online. Menurut Anggota Komnas Perempuan, Daden Sukendar, salah satu kunci utamanya adalah penguatan sinergi data dan pemanfaatan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), dalam sistem pelaporan.
"Kami mendesak adanya penguatan sinergi database kekerasan terhadap perempuan, penerapan standar keamanan dan pelaporan ramah korban berbasis kecerdasan buatan di lingkungan kementerian/lembaga dan masyarakat sipil," kata Daden di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Selain itu, Komnas Perempuan juga menekankan pentingnya alokasi anggaran perlindungan digital yang responsif gender, menunjukkan komitmen serius untuk tidak hanya menangani kasus, tetapi juga mencegahnya secara sistematis. Kenaikan kasus kekerasan ini didukung oleh data Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, yang mendokumentasikan 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 9,77 persen dari tahun sebelumnya.
Kenaikan yang paling mencolok terlihat pada kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang melonjak 40,8 persen. Bentuk KBGO yang paling sering terjadi termasuk ancaman online, pelecehan seksual siber, distribusi konten jahat, eksploitasi seksual, pelanggaran privasi, dan penipuan.
Menanggapi realitas ini, Komnas Perempuan menyerukan semua pihak untuk bersama-sama menggunakan teknologi sebagai alat transformasi. "Publik untuk menggunakan percepatan teknologi sebagai peluang untuk membangun transformasi keadilan dan ruang kehidupan yang setara aman bagi semua, termasuk bagi perempuan," ujarnya.
Anggota Komnas Perempuan lainnya, Chatarina Pancer Istiyani, menekankan kemajuan teknologi harus dimanfaatkan untuk memperkuat kesetaraan gender. Ia berpendapat kecerdasan buatan memiliki potensi besar untuk mengubah stigma dan stereotipe gender yang selama ini menjadi akar permasalahan.
"Kemajuan teknologi, termasuk kecerdasan buatan harus diarahkan untuk memperkuat kesetaraan gender, mengubah stigma dan streotipe gender, serta mempercepat pencegahan, penanganan, dan pemulihan perempuan korban kekerasan," kata Chatarina.
Dia juga menyoroti ironi di balik penggunaan ruang digital saat ini. "Realitas ini menunjukkan bahwa ruang digital yang seharusnya menjadi sarana bagi kemajuan, justru menjadi area yang rentan kekerasan terhadap perempuan," ujarnya.