
Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, telah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Dia pun telah dibebaskan dari tahanan setelah mendapatkan abolisi tersebut.
Namun ternyata, sudah ada 107 tokoh yang menyiapkan amicus curiae untuk Tom Lembong yang sempat terjerat korupsi importasi gula.
Dari ratusan nama yang mengajukan amicus curiae itu, beberapa di antaranya adalah eks Menkopolhukam Mahfud MD; eks Jaksa Agung Marzuki Darusman; Franz Magnis Suseno; hingga Butet Kertaredjasa.
Amicus Curiae itu berisi pernyataan sikap dari para tokoh tersebut mengenai kasus Tom Lembong. Menurut mereka, Tom memang layak dibebaskan karena kasusnya bermotifkan politik.
Berikut isi amicus curiae itu:
ALIANSI AKADEMIK PEDULI KEADILAN
Perihal: Pengajuan Pandangan Hukum sebagai Amicus Curiae dalam Perkara Thomas Trikasih Lembong
AMICUS CURIAE
Kepada Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta cq Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Banding Thomas Trikasih Lembong.
Majelis hakim yang kami hormati,
Dengan kerendahan hati, izinkan kami mengajukan pandangan hukum sebagai Amicus Curiae (sahabat pengadilan) dalam perkara a quo. Perkenankan kami Aliansi Akademik yang independen turut memberikan pandangan akademik kami dalam perspektif socio-legal atau hukum interdisiplin; yaitu membahas hukum dalam konteks beragam keilmuan, dan bertujuan mendukung prinsip negara hukum dan keadilan warga negara dalam proses peradilan pidana.
Pemidanaan terhadap Tom Lembong di Indonesia penuh dengan kejanggalan dan menimbulkan reaksi negatif dari berbagai kalangan secara masif, baik dari para ahli dan praktisi hukum maupun masyarakat luas. Dari perspektif socio-legal itu vonis terhadap Tom Lembong mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum di negeri ini, dengan segala dampaknya yang luas. Hukum yang dihasilkan dari putusan pengadilan itu dianggap tidak lagi bertujuan menjaga masyarakat dari kejahatan dan keserakahan dan tidak lagi mendistribusi keadilan.
Sebaliknya hukum telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga masyarakat luas, menimbulkan demotivasi bagi generasi muda pintar dan berintegritas untuk mengabdikan dirinya masuk ke pemerintahan, dan mencemaskan bagi rakyat kecil yang buta hukum.
Dalam kasus Tom Lembong, pemidanaan dijatuhkan terhadap pejabat negara yang menjalankan fungsi administratifnya sebagai Menteri, yang padahal sepengetahuan Presiden dan tanpa mens rea (niat jahat); dengan mengabaikan fakta hukum di persidangan dan tanpa bukti adanya unsur memperkaya diri sendiri.
Ketiadaan kepastian hukum juga akan mempengaruhi dunia usaha di dalam negeri, termasuk investor asing yang akan ragu untuk berinvestasi di Indonesia; padahal negeri kita sedang sangat membutuhkan perputaran roda ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan menjembatani jurang gini ratio yang lebar antara kelompok kaya dan miskin.
Dari perspektif negara hukum pemidanaan terhadap Tom Lembong telah menimbulkan kekhawatiran besar tentang melemahnya independensi peradilan dan demokrasi di negara ini. Dari lemahnya bukti, prosedur acara pemeriksaan yang dipaksakan, pengabaian pendapat akademik dari para saksi ahli, sejak fase penyidikan, penyelidikan, pemidanaan, sampai pada penggunaan konsep kapitalis secara tidak tepat. Juga penghukuman ini dijatuhkan tanpa adanya mens rea dan kerugian negara. Nampak bahwa kasus ini telah menjelma sebagai politically motivated prosecution, yaitu pemidanaan dan penuntutan yang lebih didasarkan pada motif politik, bukan hukum.
Penghukuman terhadap Thomas Trikasih Lembong yang begitu berat atas tuduhan yang penuh kejanggalan dan meragukan menimbulkan pertanyaan besar terkait independensi pengadilan. Padahal independensi pengadilan adalah salah satu unsur penting dari negara hukum, yang memastikan adanya balancing kekuasaan terhadap penyelenggaraan negara. Pengadilan seharusnya justru menjadi mekanisme kontrol terhadap persengketaan tentang hukum dan penerapannya (Bedner, 2010). Jika pengadilan gagal dalam menjaga independensi pengadilan dan demokrasi di Indonesia akan berdampak sangat buruk terhadap kelangsungan negara hukum, melukai rasa keadilan publik, dan merusak kepercayaan publik.
Kedudukan putusan hakim sebagai sumber hukum dalam sistem hukum yang mana pun adalah keniscayaan, termasuk sistem hukum di Negeri Belanda yang memiliki akar hukum yang sama dengan hukum Indonesia, karena putusan hakim adalah secondary legislature (Aharon Barak, 2005). Begitu tingginya kedudukan putusan hakim sebagai produk hukum yang menjadi harapan terakhir bagi para pencari keadilan.
Hakim sebagai penjaga gerbang Kerajaan Keadilan di dunia ini, berkewajiban membaca hukum tidak hanya sebatas teks, tetapi juga konteks. Hakim seharusnya mempertimbangkan motif politik di balik penuntutan Jaksa, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan berdasarkan hukum, bukan politik. Dalam upayanya menjaga kemandirian hakim, seharusnya hakim berani membebaskan diri dari tekanan politik, sebagaimana sumpahnya sebagai hakim.
Penuntutan dan pemidanaan bermotifkan politik berulang kali terjadi di negara-negara otoriter dan menjadi fenomena yang mengancam prinsip keadilan hukum di negara yang demokratis seperti Indonesia. Kasus seperti ini adalah fenomena yang umum terjadi di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi yang lemah atau di negara-negara yang dipimpin penguasa otoriter yang populis.
Dalam kasus ini, penuntutan dan pemidanaan digunakan sebagai alat untuk menyerang lawan politik dan mempertahankan kekuasaan. Seperti dikatakan oleh Steven Levitsky, seorang ahli politik dari Harvard University, "Penguasa populis otoriter sering menggunakan hukum sebagai senjata untuk menyerang lawan politik dan mempertahankan kekuasaan" (Levitsky, 2018).
Ketika hakim tidak membebaskan Tom Lembong, maka itu akan menjadi sinyal buruk bagi independensi peradilan dan demokrasi di Indonesia. Penuntutan yang didasarkan pada motif politik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan menghancurkan independensi peradilan. "Ketika penguasa menggunakan hukum sebagai senjata untuk menyerang lawan politik, maka itu dapat merusak demokrasi dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan" (Levitsky, 2018).
Bersama ini kami menyatakan:
Menghargai pemberian abolisi kepada Sdr Thomas Trikasih Lembong, yang sebenarnya memang berhak atas pembebasan, karena pemidanaan terhadapnya tidak lebih dari politically motivated prosecution
Sebelum adanya pemberian abolisi ini, kami mendukung sepenuhnya pencarian keadilan bagi Tom Lembong melalui upaya banding, dan pembebasan terhadapnya di tingkat banding demi terwujudnya prinsip independensi pengadilan dan demokrasi dalam negara hukum.
Konsekuensi hukum lanjutan dari putusan pidana terhadap Tom Lembong adalah bahwa para Menteri sebelum dan sesudah Tom Lembong juga harus diperiksa dan dihukum karena melakukan kebijakan yang persis sama, bahkan ada yang jumlah importasi gulanya jauh lebih banyak
Dengan penghargaan yang tinggi kepada institusi pengadilan dan rasa hormat, kami memohon agar Majelis Hakim mempertimbangkan secara saksama pemikiran kami di atas. Banyak terima kasih atas perkenaannya.
Jakarta, 31 Juli 2025
Hormat Kami,
Amicus curiae dalam perkara Thomas Trikasih Lembong:
Prof Sulistyowati Irianto (UI)
Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Ketua Dewan Guru Besar UI
Prof. Muhammad Baiquni (Ketua Dewan Guru Besar UGM)
Prof. Mohammad Mahfud MD (UII)
Marzuki Darusman, SH (Jaksa Agung 1999-2001/intelektual publik)
Prof. Franz Magnis Soeseno (STF Driyarkara)
Prof. Todung Mulya Lubis (UI/aktivis HAM)
Dr. Suparman Marzuki (UII/ Ketua Komisi Yudisial 2013-2015)
Butet Kertaredjasa (seniman/ intelektual publik)
Prof. Topo Santoso (UI)
Prof. Yetty Komalasari Dewi (UI)
Prof. Andri Gunawan Wibisana (UI)
Prof. Rosa Agustina (UI)
Prof. Heru Susetyo (UI)
Prof. Francisia Saveria Sika Seda (UI)
Prof. Rosali Saleh (UI)
Prof. Manneke Budiman (UI)
Prof. Indang Trihandini (UI)
Prof. Anton Rahardjo (UI)
Prof. Yaslis Ilyas (UI)
Prof. Anhari Achadi (UI)
Prof. Endang Achadi (UI)
Prof Siti Setiati (UI)
Prof Akmal Taher (UI)
Prof. Multamia Lauder (UI)
Prof. Teddy Prasetyono (UI)
Prof. Budi Iman Santoso (UI)
Prof. Risqa Rina Darwita (UI)
Prof. Melani Budianta (UI)
Prof. Mayling O...