Kopdes Merah Putih adalah satu dari sekian inisiatif negara yang bertujuan memperkuat akuntabilitas pengelolaan keuangan desa melalui pendekatan koperasi. Di balik semangat ini, terselip pertanyaan mendasar, apakah koperasi bisa dibentuk melalui program yang dirancang dari atas? Atau lebih jauh lagi, siapa sebenarnya yang memiliki koperasi tersebut—negara, kepala desa, atau warganya sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa menggunakan dua pendekatan dari teori Realisme Kritis, yaitu Morphogenetic Sequence dan Relational Reflexivity. Keduanya dikembangkan oleh sosiolog Margaret Archer, namun menawarkan fokus berbeda yang saling melengkapi.
Morphogenetic Sequence (MS) memberi kita alat analisis untuk menelusuri proses perubahan sosial secara historis—dari struktur awal, interaksi aktor, hingga hasil akhirnya. Sementara Relational Reflexivity (RS) mengajak kita menyelami bagaimana aktor berpikir, merasa, dan memutuskan dalam konteks relasi sosialnya.
Jika kita lihat dengan lensa MS, maka tahapan pertama (T1) dari Kopdes Merah Putih dimulai dengan struktur awal. Ia bergerak dari relasi desa-negara yang hierarkis, pengelolaan keuangan desa yang sangat administratif, dan kapasitas kelembagaan antarwilayah yang timpang.
Kemudian, pada fase interaksi (T2–T3), masuklah aktor-aktor seperti kepala desa, perangkat desa, pendamping, dan warga. Mereka menegosiasikan bagaimana koperasi ini akan dibentuk: apakah sebagai alat distribusi sembako, sebagai wadah usaha produktif, atau hanya sebagai pelengkap dokumen pertanggungjawaban. Pada fase ini muncul sebuah dinamika: ada yang responsif, ada yang pasif, dan ada juga yang adaptif secara strategis.
Di sinilah pentingnya menambahkan lensa RS. Karena perubahan sosial sejati tidak terjadi hanya karena struktur berubah atau program diperkenalkan. Ia terjadi ketika para pelaku merefleksikan posisi mereka, menimbang nilai bersama, dan menyusun tindakan berdasarkan relasi sosial yang mereka hayati.
Kopdes Merah Putih menawarkan bahasa yang bisa kita pertanyakan. Apakah warga merasa ini koperasi milik bersama? Apakah rapat anggota benar-benar terjadi dan dipahami sebagai forum musyawarah, bukan sekadar formalitas? Apakah usaha koperasi lahir dari kebutuhan warga, bukan hanya dari pelatihan top-down?
Refleksi relasional memberi kita pemahaman, mengapa dua desa dengan struktur yang sama bisa menghasilkan hasil yang sangat berbeda: satu menjadi koperasi hidup yang dikelola bersama, dan satu lagi hanya menjadi koperasi di atas kertas, dengan buku kas rapi tapi rak kosong.
Membaca Kopdes Merah Putih dengan pendekatan MS dan refleksi relasional membantu kita menghindari penilaian superfisial. Kita tidak lagi sekadar menilai dari ada tidaknya koperasi, lengkap tidaknya dokumen, atau banyaknya unit usaha yang terbentuk, tapi kita menilai apakah perubahan sosial benar-benar terjadi. Apakah masyarakat desa merasa memiliki, mengelola, dan membentuk koperasi itu sebagai bagian dari strategi kolektif mereka.
Sebab pada akhirnya, koperasi bukan hanya soal struktur legal atau intervensi kebijakan, tetapi soal kesadaran dan relasi sosial yang dijalankan bersama.