
PENGAMAT pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menilai operasi pasar dengan penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) tidak mampu memenuhi kebutuhan stok di toko ritel. Pasalnya, beras SPHP volumenya tidak banyak jika dibandingkan dengan stok dari swasta.
"SPHP ini stok pemerintah, tidak sebanyak swasta. Sebagai perbandingan, Bulog menyerap beras per Juni saja cuma 2,4 juta ton, sementara produksi beras Jan-Juni 2025 itu 19 juta ton. Artinya pemerintah cuma bisa menyerap 12,5%," kata Eliza, Rabu (27/8).
"Stok bulog yang sampai 4,7 juta itu sebagian limpahan stok tahun lalu dan sisa impor. Jadi kalau pemerintah mengguyur operasi pasar, itu tidak begitu signifikan. Tapi setidaknya penyaluran SPHP ini menyediakan alternatif untuk masyarakat menengah-bawah dapat membeli beras dengan harga yang terjangkau karena SPHP disubsidi sebagian oleh pemerintah," jelasnya.
Di sisi lain, katanya, penyaluran beras SPHP di tengah kelangkaan beras premium tidak lantas membuat konsumen premium beralih ke SPHP. "Kelas atas yang terbiasa mengonsumsi beras premium meski standarnya diturunkan, tetap tidak akan mengonsumsi SPHP," katanya.
Eliza menekankan, kelangkaan beras premium di pasaran terjadi karena produsen sudah telanjur memproduksi beras premium yang tidak sesuai standar. Karena takut ditindak oleh aparat penegak hukum, mereka menarik beras-beras itu.
"Padahal daripada ditarik yang kemudian malah bikin kelangkaan, lebih baik tetap diedarkan namun dengan harga yang relatif lebih murah dari harga normalnya. Penarikan malah jadi bikin masyarakat kesulitan akses beras premium," ujarnya.
Menurutnya, lebih baik pemerintah berkomunikasi dengan produsen bahwa beras yang telanjur tidak sesuai standar premium tetap saja dipasarkan dalam jangka periode tertentu sampai stoknya habis. (Ifa/E-1)