
Kilang Refinery Unit (RU) IV Pertamina merupakan tempat pengolahan berbagai produk Bahan Bakar Minyak (BBM) terbesar di Indonesia. Saat ini, kilang tersebut memproduksi beragam jenis BBM hingga bioavtur dari minyak jelantah.
Kilang yang sudah beroperasi sejak 1974 itu menjadi yang terbesar di Indonesia karena memiliki Nelson Complexity Index (NCI) 7,4 dan juga menjadi produsen avtur terbesar di Indonesia.
“Saat ini Kilang Cilacap merupakan kilang yang paling besar, sebelum nanti beroperasinya Kilang Balikpapan,” kata General Manager PT Kilang Pertamina Internasional RU IV Cilacap, Wahyu Sulistyo Wibowo dalam acara Jejak Berkelanjutan di Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (27/8).
Selain itu, kilang tersebut juga menyumbang 33,2 persen dari total kapasitas produksi Pertamina atau setara 348 ribu barel per hari.
Capaian produksi itu, menurut Wahyu, bisa diraih berkat dukungan 1.384 perwira Pertamina yang diperkuat sekitar 945 tenaga ahli penunjang.
Bahan baku untuk pengolahan datang dari berbagai penjuru, baik impor maupun domestik. Tercatat terdapat 27 sumber domestik seperti Banyu Urip, Duri, dan Minas, serta 26 sumber impor dari ALC, Saharan, hingga Cabinda.
“Crude yang kita olah sekitar 68 sampai 70 persen berasal dari impor, sementara 30 sampai 32 persen domestik,” ujar Wahyu.
Dari total produksi tersebut, BBM menjadi porsi utama dengan 65,6 persen. Selanjutnya avtur 15,3 persen, petrokimia 11,9 persen, Bahan Bakar Khusus (BBK) seperti Pertamax 5,3 persen, dan lube base oil 1,9 persen.

“Dari semua RU, jenis produk yang dihasilkan RU IV ini memang paling banyak variasinya,” tambah Wahyu.
Selain itu, Direktur Operasional Kilang Pertamina Internasional (KPI) Didik Bahagia menambahkan bahwa RU IV juga menjadi kilang yang memproduksi bioavtur dari minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO), yang dikenal dengan Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF).
“Alhamdulillah, tanggal 22 sampai 29 Juli kita berhasil merampungkan tugas memproduksi minyak jelantah dengan komposisi 2,5 sampai 3 persen menjadi SAF. Setelah itu dilakukan injection trial dan market trial, yang puncaknya pada 20 Agustus kita bisa menerbangkan Pelita Air dalam penerbangan komersial Jakarta–Bali,” ujar Didik.
Terkait SAF, Didik menerangkan ke depan Pertamina akan menyusun standar yang lebih sederhana mengenai spesifikasi minyak jelantah yang bisa digunakan sebagai bahan baku. Hal ini agar para produsen minyak jelantah lebih mudah berpartisipasi.
Produksi SAF nantinya juga tidak hanya dilakukan di RU IV Cilacap, melainkan juga di beberapa kilang lain yakni RU II Dumai, RU VI Balongan, dan RU V Balikpapan.
“Dengan begitu, kita akan bisa menyerap UCO atau minyak jelantah kurang lebih 38 ribu kiloliter per tahun, dan produksi SAF tiga persen sekitar 1.236.000 kiloliter per tahun. Insyaallah ini bisa mencukupi kebutuhan seluruh penerbangan domestik,” kata Didik.