Liputan6.com, Jakarta - Setelah menghadapi tekanan selama dua tahun, Microsoft akhirnya mengambil langkah nyata. Perusahaan mengumumkan penyelidikan hukum "mendadak" terkait kontraknya dengan Israel yang sangat kontroversial.
Langkah ini dipicu oleh dua kekuatan utama yang berbeda. Antara lain gelombang protes tanpa henti dari karyawan internal dan sebuah laporan investigasi tajam dari media eksternal.
Mengutip Gizmochina, Kamis (21/8/2025), penyelidikan ini berfokus pada tuduhan penggunaan platform cloud Azure yang diduga digunakan untuk membangun sistem pengawasan massal dengan menargetkan jutaan warga Palestina di Gaza.
Tekanan ini memuncak saat seorang karyawan menginterupsi perayaan ulang tahun ke-50 perusahaan. Ia secara terbuka menuduh para petinggi sebagai "pengejar keuntungan perang" yang tidak bermoral.
Di saat yang sama, laporan dari The Guardian memberikan detail spesifik. Mereka mengungkap dugaan keterlibatan badan intelijen Israel, Unit 8200, dalam penggunaan teknologi canggih tersebut.
Kombinasi dari dua tekanan inilah yang tampaknya berhasil memaksa Microsoft untuk bertindak. Mereka tidak bisa lagi mengabaikan tuntutan akuntabilitas yang datang dari dalam dan luar.
Kini, nasib kontrak kontroversial tersebut akan bergantung pada hasil penyelidikan. Sebuah proses yang diawasi ketat oleh publik, media, dan juga karyawan mereka sendiri.
Tekanan Eksternal: Laporan Media sebagai Pemicu
Pemicu langsung yang mendorong penyelidikan terbaru Microsoft adalah sebuah laporan investigasi. Laporan ini diterbitkan oleh media ternama asal Inggris, The Guardian, yang sangat berpengaruh.
Laporan tersebut memuat tuduhan yang sangat eksplosif dan terperinci. Menuduh badan intelijen rahasia Israel, Unit 8200, sebagai klien utama dari platform cloud Azure.
Dalam laporannya, disebutkan adanya sebuah kesepakatan khusus dengan CEO Microsoft, Satya Nadella. Kesepakatan ini memberikan akses ke "area terpisah" di dalam sistem cloud Azure.
Area inilah yang kemudian diduga menjadi fondasi utama, tempat di mana sistem pengawasan massal tersebut dibangun dan juga dioperasikan oleh pihak intelijen Israel.
Tujuan dari sistem ini sangat jelas menurut laporan tersebut, yaitu untuk mengumpulkan dan menyimpan rekaman jutaan panggilan telepon dari warga Palestina di Gaza.
Dalam respons resminya, Microsoft secara spesifik merujuk pada laporan ini. Mereka mengakui bahwa "tuduhan tambahan yang akurat" ini memang memerlukan sebuah tinjauan penuh.
Hal ini menunjukkan betapa besarnya dampak dari jurnalisme investigatif, sebuah laporan yang solid mampu memaksa korporasi raksasa untuk mengambil tindakan nyata.
Suara Karyawan yang Tak Bisa Diabaikan
Jauh sebelum laporan The Guardian terbit, bara perlawanan sudah menyala di internal Microsoft. Suara-suara penolakan justru datang dari para karyawan mereka sendiri yang resah.
Selama dua tahun, mereka menjadi kritikus paling vokal, secara konsisten menyuarakan keprihatinannya terhadap kontrak yang dijalin perusahaan dengan militer Israel.
Aksi mereka tidak hanya sebatas diskusi internal. Para karyawan berani melakukan protes terbuka yang seringkali mengganggu citra publik dan acara-acara penting yang diadakan perusahaan.
Contoh paling dramatis adalah insiden di perayaan ulang tahun ke-50 Microsoft. Seorang karyawan nekat berteriak dan melontarkan tuduhan serius di hadapan para petinggi perusahaan.
Ia menuduh para pemimpinnya sebagai "pengejar keuntungan perang". Juga menuding perusahaan terlibat dalam "penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk genosida", sebuah pernyataan yang sangat kuat dan berani.
Gelombang aktivisme internal ini menunjukkan adanya krisis moral yang mendalam. Para karyawan tidak lagi bersedia diam melihat teknologi yang mereka bangun digunakan untuk tujuan kekerasan.
Oleh karena itu, laporan eksternal dari media seolah mendarat di atas api. Memperkuat tekanan yang sudah ada dan membuat perusahaan tidak punya pilihan selain bertindak.
Respons Korporat: Penyelidikan Kedua dan Janji Keterbukaan
Menghadapi tekanan ganda dari dalam dan luar, Microsoft akhirnya memberikan tanggapan. Respons kali ini terasa lebih serius dibandingkan dengan upaya-upaya mereka sebelumnya dalam menangani isu.
Perusahaan mengumumkan peluncuran penyelidikan hukum kedua mereka di tahun ini. Hal ini merupakan pengakuan implisit bahwa penyelidikan pertama yang mereka lakukan mungkin belum cukup memuaskan.
Penyelidikan pertama yang dirilis pada Mei 2025, juga dipicu protes karyawan. Saat itu menyimpulkan bahwa "tidak ada bukti" penyalahgunaan teknologi untuk merugikan warga sipil.
Namun, penyelidikan baru ini memiliki dasar yang berbeda. Kali ini dipicu oleh tuduhan yang lebih "akurat dan terperinci" dari laporan media yang sangat kredibel.
Untuk menunjukkan keseriusan, Microsoft telah menunjuk firma hukum eksternal, Covington & Burling. Tujuannya adalah untuk mengawasi proses penyelidikan agar berjalan secara independen dan transparan.
Mereka juga mengeluarkan pernyataan publik yang sangat jelas., bahwa penggunaan Azure untuk pengawasan massal warga sipil akan menjadi pelanggaran berat terhadap persyaratan layanan.
Langkah-langkah ini menunjukkan sebuah perubahan dalam pendekatan perusahaan. Tekanan gabungan dari karyawan dan media tampaknya berhasil mendorong proses akuntabilitas korporat yang lebih kuat.