Liputan6.com, Jakarta - Di tengah meningkatnya ketegangan politik antara dua negara--China dan Amerika Serikat (AS), Kementerian Keamanan Negara China menuding Badan Keamanan Nasional (NSA) AS sebagai dalang di balik serangan siber yang berlangsung antara tahun 2023 dan 2024.
Seperti yang pertama kali dilaporkan oleh Reuters, dikutip Senin (20/10/2025), lembaga China tersebut melalui unggahan di platform WeChat menyebut bahwa NSA telah menargetkan National Time Service Center milik negara.
Pusat ini merupakan bagian dari Akademi Ilmu Pengetahuan China yang bertugas menghasilkan, memelihara, dan menyalurkan standar waktu nasional, yang sangat krusial bagi sektor-sektor penting di seluruh negeri, termasuk komunikasi, pertahanan, dan keuangan.
Kementerian Keamanan Negara menyatakan bahwa operasi tersebut menggunakan sekitar 42 jenis "senjata serangan siber khusus" untuk menyusup ke National Time Service Center.
Serangan ini disebut berpotensi memicu gangguan pada komunikasi jaringan, sistem keuangan, dan pasokan listrik negara.
Lebih lanjut, unggahan di WeChat itu juga mengklaim bahwa NSA mengeksploitasi kerentanan dalam sistem pesan sebuah merek ponsel asing untuk mencuri informasi sensitif dari perangkat staf, meski merek ponsel tersebut tidak disebutkan namanya.
Belum Ada Respon dari NSA
Hingga berita ini naik, NSA belum memberikan tanggapan resmi terhadap tuduhan yang dilayangkan China.
Di sisi lain, tudingan ini muncul setelah Departemen Keuangan AS sempat mengumumkan bahwa mereka menjadi sasaran serangan siber pada Desember 2024, yang disebut didalangi oleh "aktor yang disponsori negara China".
Peristiwa saling tuding ini semakin memperkeruh hubungan kedua negara adidaya tersebut di ranah keamanan siber global.
Google: Diplomat Asia Tenggara Jadi Target Spionase Siber Diduga Berafiliasi dengan China
Di sisi lain, para diplomat di Asia Tenggara dilaporkan menjadi target kampanye spionase siber pada awal 2025. Menurut Google, serangan ini kemungkinan besar dilakukan untuk mendukung operasi yang sejalan dengan kepentingan strategis Tiongkok.
Google Threat Intelligence Group (TAG) dari Alphabet pada 25 Agustus menyebut serangan tersebut menggunakan teknik rekayasa sosial dan malware yang disamarkan sebagai pembaruan perangkat lunak, dikutip dari Straits Times, Kamis (28/8/2025).
Serangan dikaitkan dengan kelompok peretas UNC6384 yang berafiliasi dengan Tiongkok, meski kelompok ini belum secara resmi dikategorikan ke dalam jaringan peretas tertentu.
Patrick Whitsell, insinyur keamanan senior Google, mengungkapkan sekitar dua lusin korban telah mengunduh malware tersebut. Ia tidak merinci kewarganegaraan diplomat yang terdampak, namun dalam wawancaranya dengan Bloomberg News, Whitsell menegaskan bahwa ia “sangat yakin serangan ini berpihak pada Tiongkok.”
Menurut Whitsell, target serangan bisa berasal dari kalangan pejabat pemerintah maupun kontraktor eksternal.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan pihaknya tidak mengetahui kasus ini dan menuduh laporan Google sebagai upaya menyebarkan informasi palsu yang mengaitkan Beijing dengan aksi peretasan.