Liputan6.com, Surabaya Lemak di perut lebih jahat ketimbang lemak yang ada di bagian tubuh lainnya.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Pusat Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof. Dr. dr. Em Yunir, Sp.PD, K-EMD, Finasim.
“Melihat karakteristik lemak di perut itu lebih jahat karena dia mengeluarkan suatu mediator yang namanya mediator inflamasi atau peradangan. Jadi kalau dia makin banyak penumpukannya, peradangan yang terjadi makin tinggi,” kata Em Yunir kepada Health Liputan6.com saat ditemui di Surabaya, Minggu (24/8/2025).
Peradangan yang dipicu tumpukan lemak di perut dapat merembet ke mana-mana dan dapat memicu hipertensi, diabetes, kolesterol, masalah jantung, dan stroke.
“Kalau lemak yang di sini (pundak/bagian tubuh lain) relatif lebih aman atau lebih jinak,” tambahnya.
Maka dari itu, dia mengimbau masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kandungan lemak dalam tubuh. Jika jumlah lemak sudah melewati batas maka pasien perlu hati-hati, dokter biasanya memberikan arahan untuk melakukan aktivitas fisik tertentu untuk mengurangi lemak dalam tubuh.
“Supaya komposisi lemaknya berkurang, jadi bukan hanya berat badannya saja (yang ditimbang),” sarannya.
Dijelaskan pula bahwa lemak yang menumpuk di perut bisa memicu obesitas sentral. Kondisi ini digambarkan sebagai lingkar perut yang melebihi batas normal.
Prevalensi obesitas sentral secara nasional mencapai 36,8 persen pada penduduk berusia 15 tahun ke atas menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.
Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga penduduk Indonesia memiliki risiko kesehatan akibat penumpukan lemak di area perut.
Muhammad Kenzi Alvaro, balita 16 bulan yang viral akibat bobotnya mencapai 27 kilogram, Jumat (24/02) siang, akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Hermina Kota Bekasi, Jawa Barat. Di rumah sakit, Kenzi akan menjalani observasi terkait kegemukan yang dialam...
Obesitas Bukan Sekadar Masalah Estetik
Dalam kesempatan yang sama, Clinical, Medical, and Regulatory Director Novo Nordisk Indonesia, dr. Riyanny Meisha Tarliman menyampaikan bahwa sebagian orang menganggap obesitas bukan sebuah penyakit.
Padahal, obesitas merupakan sebuah penyakit yang telah disahkan pula oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Nah, kenapa sih obesitas itu disebut sebagai penyakit? Kalau kita melihat, obesitas itu enggak sekadar kelebihan berat badan, enggak sekadar kurang olahraga, enggak sekadar karena makanan berlebih. Banyak sekali orang obesitas yang udah olahraga abis-abisan, makan ditaker, tapi berat badannya cenderung mentok, turun dikit, mentok, atau meningkat lagi,” kata Riyanny kepada Health Liputan6.com.
Setelah diteliti, ternyata banyak hormon yang berpengaruh di otak yang bekerja sebagai sistem tarik-menarik. Artinya, ketika berupaya mengurangi makan, otak malah kembali menarik diri untuk makan.
“Proses tarik-menarik itulah yang membuat kita sebagai manusia itu sangat sulit sekali untuk menurunkan berat badan. Dan pekerjaan hormonal kita di otak itu diatur secara natural, memang seperti itu, itu sebabnya kita melihat obesitas bukan lagi soal masalah estetik tapi sebagai suatu penyakit karena banyak hormone yang terlibat di dalamnya,” paparnya.
Prevalensi Obesitas di Indonesia pada Dewasa dan Anak
Obesitas adalah penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan massa lemak berlebih yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular dan menurunkan harapan hidup.
Menurut Ketua Pokja Obesitas PERKENI, Dr. dr. Sony Wibisono, Sp.PD, K-EMD, FINASIM, Indonesia masuk lima besar sebagai negara dengan kasus obesitas tertinggi di Asia Tenggara.
“Indonesia itu masuk lima besar di Asia Tenggara dan jumlah yang dewasa 68 juta, yang overweight sama obesitas. Di anak-anak juga enggak kalah, 20 persen anak usia 5 sampai 12 tahun mengalami overweight atau kelebihan berat badan, obesitas,” ujarnya di ruangan yang sama.
Dia menambahkan, sebagai penyakit, obesitas menghabiskan dana kesehatan Rp78,478 miliar per tahun. Ini setara dengan 0,9 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Selama ini, pembiayaan penanganan obesitas seolah tak terlihat karena yang dilaporkan adalah terkait jantung koroner, stroke, dan lain-lain.
“Enggak kelihatan (biayanya), padahal kita tahu bahwa itu sumbernya dari obesitas,” paparnya.
Perlu Ubah Kebiasaan
Sementara, Ketua Pokja Nutrisi PERKENI, Dr. dr. Nanny Nathalia Soetedjo, Sp.PD, K-EMD, M.Kes, FINASIM, DCN., mengatakan bahwa guna mencegah obesitas, maka perlu mengubah kebiasaan buruk.
Kurangnya aktivitas fisik dan kebiasaan konsumsi makanan kurang sehat dengan porsi berlebih menjadi hal biasa di tengah masyarakat zaman sekarang.
“Sekarang fasilitas apa sih yang tidak bisa dipesan? Aplikasi segitu banyak...