Jakarta (ANTARA) - Di saat hampir seluruh negara di kawasan Asia Tenggara pernah mengalami penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-20, Thailand muncul sebagai paradoks. Negara yang dahulu dikenal dengan nama Siam ini menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah secara langsung oleh kekuatan kolonial Barat.
Sebagai perbandingan, Indonesia dijajah oleh Belanda selama lebih dari tiga abad, Malaysia, Myanmar, dan Brunei berada di bawah kekuasaan Inggris, Filipina dikuasai oleh Spanyol dan Amerika Serikat, sementara Vietnam, Laos, dan Kamboja masuk dalam jajahan Prancis. Penjajahan tersebut umumnya didorong oleh kepentingan ekonomi seperti penguasaan sumber daya alam, monopoli perdagangan rempah-rempah, serta dominasi atas jalur strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Namun, Thailand berhasil menghindari takdir yang sama. Keberhasilan ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari strategi diplomatik cerdas, reformasi internal yang progresif, serta peran krusial dari para pemimpinnya, terutama Raja Mongkut (Rama IV) dan putranya, Raja Chulalongkorn (Rama V).
Kedua raja ini memahami dengan jelas ancaman dari kekuatan kolonial. Oleh karena itu, mereka memilih pendekatan diplomatik dan modernisasi menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Thailand kala itu aktif menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, bahkan memberikan sejumlah konsesi teritorial kepada Inggris dan Prancis sebagai bentuk kompromi strategis. Langkah ini membuat Thailand dianggap sebagai negara penyangga (buffer state) antara koloni Inggris di barat dan koloni Prancis di timur.
Baca juga: Sejarah penjajahan negara-negara ASEAN & alasan Thailand tetap merdeka
Selain itu, Raja Chulalongkorn melancarkan berbagai reformasi besar-besaran, termasuk dalam bidang militer, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Modernisasi ini tidak hanya meningkatkan kualitas pemerintahan dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memperkuat posisi Thailand di mata kekuatan asing sebagai negara yang "beradab" dan stabil, sehingga tidak dianggap perlu untuk dijajah.
Thailand juga menerapkan sistem politik mandala, yaitu strategi penghormatan simbolik kepada kekuatan kolonial, yang secara diplomatis menunjukkan seolah-olah mengakui kekuasaan mereka. Padahal, dalam praktiknya, kedaulatan penuh tetap berada di tangan kerajaan Siam.
Faktor penting lainnya adalah kuatnya persatuan nasional. Di bawah kepemimpinan monarki yang kuat dan dihormati, rakyat Thailand bersatu mempertahankan identitas dan kedaulatan negaranya. Keseragaman budaya dan agama menjadi modal penting yang menyulitkan penjajah untuk memecah belah masyarakat sebagaimana yang dilakukan di negara lain.
Meskipun tidak dijajah oleh bangsa Barat, Thailand tetap menjalankan hubungan upeti dengan Kekaisaran Tiongkok selama berabad-abad. Dalam sistem ini, Thailand secara simbolis mengakui kekuasaan kaisar Tiongkok dan mengirimkan upeti sebagai bentuk penghormatan. Namun hubungan ini bersifat timbal balik—Thailand juga memperoleh perlindungan dan pengakuan diplomatik dari kekaisaran tersebut. Strategi ini berhasil menempatkan Thailand dalam posisi aman, jauh dari konflik terbuka maupun kolonisasi langsung.
Melalui kombinasi kebijakan luar negeri yang cermat, reformasi internal, serta kekuatan nasionalisme dan diplomasi budaya, Thailand berhasil mempertahankan kemerdekaannya di tengah gempuran kolonialisme. Hingga hari ini, sejarah ini menjadi kebanggaan nasional dan bukti bahwa diplomasi dan kecerdikan politik dapat menjadi senjata yang ampuh melawan dominasi asing.
Sebagai gantinya, Thailand tidak memiliki hari kemerdekaan dan menetapkan 5 Desember sebagai Hari Nasional untuk memperingati ulang tahun mendiang Raja Bhumibol Adulyadej.
Baca juga: Malaysia gelar Hari ASEAN ke-58, usung tema inklusif-berkelanjutan
Baca juga: Thailand-Kamboja resmi teken gencatan senjata, ASEAN jadi pemantau
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.