Jakarta (ANTARA) - Dalam sebuah langkah kontroversial yang memicu kecaman luas di tataran global, pemerintah AS mengumumkan untuk mencabut visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas serta 80 anggota delegasinya.
Kebijakan "nyeleneh" dari pemerintahan negara adidaya pimpinan Presiden Donald Trump itu dilakukan hanya beberapa pekan sebelum Delegasi Palestina itu menghadiri Majelis Umum PBB 2025 yang akan digelar di New York, September mendatang.
Di tengah genosida dan penderitaan lainnya yang dialami oleh masyarakat Palestina khususnya di Gaza, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio malahan menyalahkan pihak Palestina karena "merusak prospek perdamaian" hanya karena mengupayakan pengakuan atas negara Palestina.
Rubio menuding tanpa dasar kuat bahwa Otoritas Palestina tidak mematuhi komitmen mereka, antara lain karena terlibat dalam "kampanye menggunakan hukum sebagai senjata" dengan adanya permohonan ke Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional untuk meminta pertanggungjawaban rezim Zionis Israel yang telah melakukan berbagai pelanggaran brutal baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat Palestina.
Hal ini juga membuat berbagai pihak bingung dengan prinsip hati nurani dan kemanusiaan apa yang digunakan Washington?
Apalagi, keputusan yang memicu banyak kritik itu juga secara langsung melanggar kewajiban hukum AS sebagai tuan rumah Markas Besar PBB, serta menimbulkan pertanyaan mendesak tentang ketidakberpihakan dan keandalan AS sebagai penjaga diplomasi internasional.
Amerika Serikat, sebagai tuan rumah Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, terikat oleh Perjanjian Markas Besar PBB–AS tahun 1947 untuk memberikan visa kepada semua perwakilan negara anggota PBB dan pengamat yang menghadiri pertemuan resmi PBB.
Perjanjian pemberian visa untuk aktivitas PBB semestinya terlepas dari pandangan politik yang dipegang pemerintah AS. Meskipun bukan anggota penuh PBB, Negara Palestina telah memegang status pengamat sejak tahun 1974 dan telah secara resmi diakui sebagai "Palestina" dalam proses PBB sejak Resolusi 43/177 pada tahun 1988.
Dengan mencabut visa untuk Presiden Mahmoud Abbas dan delegasinya menjelang Majelis Umum 2025, AS melanggar perjanjian yang mengikat ini.
Sementara Washington mengklaim keputusan itu dibuat atas dasar keamanan nasional, para kritikus berpendapat langkah itu bermotif politik dan merusak prinsip akses kesetaraan PBB.
Penegakan kewajiban tuan rumah yang selektif seperti itu mengancam kredibilitas PBB itu sendiri dan menciptakan preseden berbahaya untuk mempolitisasi forum multilateral terpenting di dunia.
Momen ini menarik paralel yang mirip dengan yang terjadi pada tahun 1988, ketika penolakan visa serupa memaksa pergelaran Majelis Umum PBB untuk sementara pindah ke Jenewa, atau bahkan lebih jauh lagi, membuka kans untuk pindah permanen dari New York.
Baca juga: AS didesak cabut larangan visa bagi delegasi Palestina
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.