
MANADO - Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Sulawesi Utara (Karantina Sulut), baru-baru ini melakukan penahanan 800 kilogram daging celeng atau babi hutan di Pelabuhan Samudera Bitung. Ini disebabkan karena daging celeng ini tak disertai dokumen persyaratan dari daerah asal.
Penahanan ini menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Banyak yang menuding jika kebijakan ini merugikan masyarakat di Sulut, mengingat pasokan daging babi celeng ini dianggap bisa memenuhi kebutuhan daging babi di daerah ini.
Namun, banyak masyarakat yang tak tahu, pengawasan ketat terhadap masuk dan ke luarnya daging celeng maupun daging babi lainnya, justru untuk melindungi peternak babi di Sulut, mengingat daging babi tersebut tanpa dokumen kesehatan yang justru berpotensi adanya penyebaran ASF.
Hal inilah yang terungkap pada forum diskusi yang digelar Karantina Sulut bersama Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, Badan Intelijen Negara Daerah (BINDA), serta beberapa pelaku usaha daging celeng.
I Wayan Kertanegara, Kepala Karantina Sulut, dalam diskusi itu menyebutkan jika pengawasan yang diperketat justru adalah langkah antisipasi agar krisis demam babi yang sempat melumpuhkan peternakan babi di Sulut tak terulang lagi.
"Kebijakan (pengawasan) ini bertujuan melindungi kesehatan ternak lokal dan stabilitas ekonomi ribuan peternak dari ancaman penyakit yang dibawa oleh daging ilegal," kata Wayan.
Menurut Wayan, tugas mereka juga berdasarkan implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, di mana tanpa dokumen karantina, asal usul dan kondisi daging tidak bisa dipertanggungjawabkan dan berisiko membawa penyakit menular.
Diakuinya, dokumen-dokumen itu justru adalah benteng pertahanan pertama sekaligus utama untuk memastikan daging babi yang akan beredar di Sulut sudah terjamin kesehatan dan keamanan dan tak berakibat buruk, terutama untuk peternakan lokal.
"Semua dokumen kini bisa diurus secara online, lewat OSS. Di situ pelaku usaha bisa dengan cepat dan mudah mengetahui berkas apa saja yang akan diurus," kata Wayan.
Menurutnya, penerbitan dokumen Karantina seperti sertifikat kesehatan, justru menjadi jaminan bahwa komoditas yang dikirim layak untuk dilalulintaskan dan bebas dari risiko penyakit.
Sementara itu, Kepala BKSDA Sulut, Askhari DG Masikki, menyentil soal legalitas angkut. Apalagi menurutnya, hewan babi hutan sebagai asal daging celeng, punya aturan ketat terkait penangkapan dan perdagangan karena termasuk satwa liar.
Walaupun diakui Askhari jika Sulut adalah sentra warga yang konsumsi satwa liar, tapi sesuai aturan, tanpa izin resmi penangkapan dan penjualan, maka daging celeng dianggap ilegal.
"Jadi kalau ingin mengirim daging celeng, pelaku usaha wajib mematuhi prosedur yang berlaku seperti mengurus Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) di BKSDA setempat,” kata Azhari.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut, Hanna O. Tioho, mengatakan jika saat ini kondisi peternakan babi di Sulut tidak dalam kondisi yang baik usai diserang oleh virus ASF yang membuat banyak sekali ternak babi mati.
Dirinya mengaku jika pengawasan ketat memang harus dilakukan agar antisipasi ASF kembali menyebar benar efektif. Apalagi menurutnya, virus ASF memang masih ditemukan, sehingga perlu pengawasan ekstra ketat.
"Jadi sebenarnya justru pengawasan ketat ini jadi cara kita lindungi peternak kita. Jangan sampai kondisi kini yang mulai berangsur pulih kembali terperosok, karena kita lalai dalam melakukan pengawasan daging yang masuk. Lebih baik kita cegah daripada kita kembali lagi ke krisis," ujar Hanna.
Pada diskusi itu, para pelaku usaha daging celeng itu kemudian meminta bantuan untuk mendampingi mereka terkait pengurusan administrasi termasuk sertifikat, agar supaya bisa diurus di daerah asal daging tersebut.