
PAKAR ilmu politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan menilai, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu ke depan perlu secara serius mengatur mekanisme dan batasan koalisi partai politik.
Menurutnya, penguatan sistem presidensialisme multipartai tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan presiden, tetapi juga harus dibangun melalui regulasi yang mendorong keseimbangan antara pemerintah dan oposisi.
“Sistem presidensial multipartai bisa berjalan karena presiden memanfaatkan perangkat-perangkat yang dia miliki untuk mendapatkan dukungan, meskipun partai asalnya tidak mayoritas. Salah satu instrumen utamanya adalah koalisi,” ujar Firman pada Sabtu (18/10).
Akan tetapi, ia menilai pola koalisi partai di Indonesia saat ini justru tidak sehat dan cenderung tambun, karena dibangun bukan atas dasar kesamaan ideologi atau agenda kebijakan, melainkan kepentingan jabatan semata.
“Model koalisi kita terlalu besar, tanpa keterkaitan ideologi maupun agenda kebijakan antarpartai. Ini berbahaya, karena berdasarkan banyak studi, pola seperti itu melahirkan politik kartel dan melemahkan mekanisme check and balance,” kata Firman.
Ia menilai, kekhawatiran bahwa presiden dengan dukungan minoritas akan terganggu oleh parlemen yang pernah menjadi persoalan pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) justru kini berbalik arah.
“Yang terjadi sekarang, bukannya presiden tidak stabil karena parlemen kuat, tapi justru parlemen ikut terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. Akibatnya, kualitas demokrasi dan fungsi pengawasan menjadi lemah,” jelasnya.
Atas dasar itu, Firman menekankan perlunya batas minimum koalisi dalam RUU pemilu agar keseimbangan politik tetap terjaga.
“Idealnya, koalisi cukup 50% plus satu. Harus ada kekuatan oposisi yang hidup dan memiliki peran pengimbang di parlemen,” ucapnya.
Selain itu, salah satu masalah mendasar mengenai koalisi adalah minimnya insentif bagi partai yang menjadi oposisi. Dalam sistem politik saat ini, partai yang memilih berada di luar pemerintahan sering kali tidak mendapatkan keuntungan politik apa pun.
“Menjadi oposisi itu tidak mendapat insentif. Maka yang terjadi, semua partai ingin masuk pemerintahan. Ini membuat demokrasi kita kehilangan keseimbangan,” kata Firman.
Ia menilai, kehadiran pemilu lokal serentak sebenarnya bisa menjadi mekanisme alamiah untuk memberikan insentif bagi oposisi. Namun, pola tersebut tetap bergantung pada perilaku pemilih.
“Pemilu lokal bisa menjadi ajang evaluasi terhadap pemerintahan nasional di tengah periode kekuasaan. Kalau kinerja pemerintah pusat buruk, oposisi bisa mendapatkan keuntungan di tingkat lokal,” jelasnya.
Firman menilai, pemilih di Indonesia sering kali belum bisa mengidentifikasi siapa yang layak untuk ‘dihukum’ atau diberi insentif politik ketika kinerja pemerintah tidak memuaskan, terutama jika koalisinya terlalu besar.
Firman juga menyinggung fenomena di beberapa negara lain, di mana pemilu lokal sering menjadi ‘referendum’ terhadap kinerja pemerintah nasional. Menurutnya, hal itu bagus jika bisa diterapkan di Indonesia.
“Biasanya, kandidat yang terasosiasi dengan pemerintah pusat akan kalah di tingkat lokal jika publik tidak puas. Itu bentuk keseimbangan demokrasi yang sehat,” pungkasnya. (Dev/M-3)