
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal digugat. Para pemohon meminta agar MK membatalkan putusannya sendiri.
Adapun gugatan itu teregister dengan nomor 126/PUU-XXIII/2025. Gugatan diajukan oleh 4 advokat, yakni: Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, Yuseva, dan Rio Adhitya.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar putusan Nomor 135/PUU-XXI/2024 tentang pemisahan pemilu itu dibatalkan.
"Menyatakan pemohon pengujian undang-undang perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima," demikian petitum para pemohon dikutip Rabu (6/8).
"Menyatakan putusan perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," sambungnya.
Dalam permohonannya, para pemohon mendalilkan dalam putusan nomor 135 itu akan membahayakan dan menciptakan kekacauan sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Yaitu akan melahirkan kevakuman anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama periode sejak selesainya pelantikan hasil Pemilu Nasional yang memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, sampai dengan penetapan anggota DPRD hasil Pemilu Daerah (disebut: "Pemiluda") yang penyelenggaraannyadalam kurun waktu 2 sampai dengan 2,5 kemudian," kata pemohon.

"Terjadi kevakuman anggota DPRD selama kurun waktu 2,5-3 tahun tersebut akan melumpuhkan Pemerintahan Daerah, oleh karena DPRD merupakan penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama Kepala Daerah," tambahnya.
Para pemohon juga merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena dalam putusan nomor 135 itu dimohonkan tidak sesuai aturan. Di mana, kuasa hukum yang ditunjuk oleh pemohon putusan 135 belum berstatus sebagai advokat.
"Pemohon PUU No.135/PUU-XXI/2024, telah bertindak curang atau tidak jujur, yaitu menunjuk Kuasa Hukum yang tidak atau belum berstatus sebagai Advokat, yaitu: Heroik Mutaqin Pratama, S.IP., M.IP., Haykal, Annisa Alfath, S.IP., dan Iqbal Khoiidin. Para Kuasa Hukum quodnon tidak memenuhi syarat sebagai Advokat oleh karena tidak berpendidikan sebagai Sarjana Hukum sehingga tidak memenuhi syarat untuk diangkat sebagai Advokat sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (1) huruf e UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat," bebernya.
Terkait gugatan ini, Hakim MK Enny Nurbaningsih, mengungkapkan pihaknya akan menindaklanjutinya sama seperti gugatan yang lain.
"MK tidak dapat menghalangi hak setiap warga negara untuk mengajukan permohonan. Permohonan yang masih diproses sesuai hukum acara di MK dan diperlakukan sama," jelas Enny saat dihubungi.