
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengungkapkan setidaknya terdapat 14 negara berkembang penghasil mineral kritis (critical mineral) tertarik mempelajari program hilirisasi mineral di Indonesia.
Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi Kemlu, Dindin Wahyudin, mengatakan hal tersebut disampaikan saat Forum Negara Penghasil Mineral Kritis (Critical Mineral Producing Countries Forum) yang diselenggarakan pada Juni 2025 oleh Kemlu.
Forum yang juga disebut Dialog CRM (Critical Raw Mineral) tersebut dihadiri oleh delegasi dari 15 negara, termasuk Indonesia, yang menyepakati strategi penguatan hilirisasi mineral kritis.
Dindin memaparkan delegasi tersebut berasal dari Benua Afrika, Asia, hingga Amerika Latin seperti Argentina, Brasil, Kuba, Sri Lanka, Vietnam, Zimbabwe, Kenya, hingga Mozambik.
"Dari CRM forum yang hadir 15 negara itu, mereka ingin belajar keberhasilan Indonesia dari yang tadinya menjual raw material, katakanlah bahan baku yang belum diolah, yang diolah dan berhasil meningkatkan nilai 10 kali lipat. Mereka ingin belajar dari Indonesia bagaimana melakukan hilirisasi," ungkapnya usai acara International Battery Summit 2025, Rabu (6/8).
Kolaborasi antara seluruh pihak, terutama dari peneliti dengan pemerintah sangat penting untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama rantai pasok baterai.
"Ini kita dijadikan contoh oleh negara-negara berkembang, meskipun kita tetap bekerja sama dengan negara yang sudah advance ya Tiongkok, kemudian negara-negara Eropa juga," tuturnya.
Pemerintah Bikin Standar ESG Mineral Kritis

Di sisi lain, Dindin mengungkapkan pemerintah tengah mengembangkan standar pertambangan mineral kritis sesuai dengan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Standar tersebut mengikuti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada sektor kehutanan dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada perkebunan sawit.
"Kita juga sedang mengembangkan standar mining yang ESG istilahnya, karena kita sudah punya juga di bidang lain seperti di bidang kayu kan kita sudah punya standar SVLK, di sawit kita sudah punya yang namanya ISPO," imbuh Dindin.
Menurutnya, standardisasi ESG untuk sektor pertambangan in penting namun tetap disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan negara. Hal ini akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
"Standarnya tentu disesuaikan dengan kebutuhan kita, standar internasional sudah ada terutama negara-negara pasar, mereka sudah punya standar, nah kita ingin yang sesuai dengan kepentingan Indonesia," kata Dindin.