MAHKAMAH Konstitusi (MK) menunda dua sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang atau UU Cipta Kerja.
Kedua perkara tersebut bernomor 100/PUU-XXIII/2025 dan 112/PUU-XXIII/2025. "Agenda seharusnya mendengarkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden,” kata Hakim Ketua Suhartoyo dalam sidang, Selasa, 19 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Namun, pihak DPR tidak hadir. Adapun presiden hadir melalui kuasa hukumnya Ellen Setiadi, Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Perekonomian. Namun pihak presiden meminta penundaan.
“Melalui surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, kami memohon tambahan waktu untuk menyampaikan keterangan Presiden,” kata Ellen.
Dalam perkara 100/PUU-XXIII/2025, pemohon diwakili kuasa hukum Theo Revelson bersama timnya. Adapun perkara 112/PUU-XXIII/2025 menghadirkan sejumlah pemohon individu dan organisasi, antara lain warga dari Merauke, Papua Selatan, Rempang, Kalimantan Utara, hingga Konawe, Sulawesi Tenggara. Mereka didampingi sejumlah kuasa hukum.
Majelis hakim kemudian menunda sidang. Untuk perkara nomor 100/PUU-XXIII/2025, sidang akan dilanjutkan pada Senin, 25 Agustus 2025, pukul 10.30 WIB. Adapun perkara 112/PUU-XXIII/2025 dijadwalkan ulang pada 25 Agustus pukul 13.30 WIB.
“Kami panggil kembali untuk DPR dan Presiden, termasuk pemohon tidak perlu dipanggil ulang,” ujar Suhartoyo.
Pada sidang sebelumnya, pemohon perkara 100/PUU-XXIII/2025 dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendalilkan bahwa UU Cipta Kerja telah mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walhi menilai kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta mengancam keadilan antargenerasi.
Mereka mempersoalkan degradasi izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan yang tidak mewajibkan semua kegiatan usaha memiliki izin, hanya bergantung pada tingkat risiko tanpa penjelasan memadai. Kondisi ini dianggap menghilangkan jaminan kepastian hukum, partisipasi publik, akses informasi, serta hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Menurut Walhi, negara seharusnya menggunakan instrumen perizinan untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan melindungi hak asasi manusia.
Menurut laman MK, pasal yang diuji dalam perkara ini adalah Pasal 13 Huruf B, Pasal 22 Angka 1, Pasal 22 Angka 3, Pasal 22 Angka 5, Pasal 22 Angka 8, Pasal 22 Angka 9, Pasal 22 Angka 10, Pasal 22 Angka 14, Pasal 22 Angka 15, Pasal 22 Angka 16, Pasal 22 Angka 17, Pasal 22 Angka 18, Pasal 22 Angka 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang (UU Cipta Kerja).
Sementara itu, untuk perkara 112/XXIII/2025, para pemohon mendalilkan ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Para pemohon berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara. Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret. Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna.
Selain itu, sejumlah pasal lain dalam UU Cipta Kerja turut dipersoalkan, seperti Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2). Ketentuan tersebut dianggap membajak konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.
Adapun para pemohon dalam perkara ini adalah Walhi, YLBHI bersama sejumlah lembaga dan advokat.