KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia mendesak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengusut kematian Rheza Sendy Pratama. Mahasiswa kampus Akademi Manajemen Informatika dan Komputer atau Amikom itu diduga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian dalam demonstrasi pada Ahad, 31 Agustus 2025.
Pilihan editor: Mengapa Kami Kembali Menulis Kasus Kematian Munir?
Rombongan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pegiat Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mendatangi rumah orang tua Rheza. Mereka datang untuk menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Rheza pada Rabu malam, 3 September 2025.
Koordinator Sub-komisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengatakan kedatangan komisioner Komnas HAM Ke Yogyakarta merupakan bagian dari pengamatan dan pemantauan terhadap ekses demonstrasi. Komnas HAM, kata Atnike meminta aparat penegak hukum bertanggung jawab mengusut kasus kematian Rheza.
“Ada atau tidak autopsi, kepolisian mesti menindaklanjuti kasus itu secara adil sehingga keluarga korban dapat pemulihan,” kata Atnike di rumah keluarga Rheza di Sleman, Yogyakarta.
Direktur LBH Yogyakarta Julian Duwi Prasetia mengatakan Polda DIY harus mengusut tuntas kematian Rheza karena kasus itu menyangkut kepentingan publik. Polda DIY, kata dia, tak harus menunggu keluarga untuk menyelidiki kasus itu hingga pelaku kekerasan dihukum. “Ini delik biasa, bukan delik aduan. Polda harus menindaklanjuti tanpa harus ada laporan,” kata Julian.
Malam itu, sejumlah personel tentara dan warga kampung terlihat berjaga di rumah orang tua Rheza di Dusun Jaten, Desa Sendangadi, Mlati, Sleman pada Rabu malam, 3 September 2025. Kepala Dusun Jaten Nugroho Seputro menyatakan Yoyon Surono dan isteri tak bisa ditemui rombongan Komnas HAM dengan alasan mereka kelelahan menemui tamu yang datang silih berganti. Yoyon adalah ayah Rheza.
Nugroho kemudian hanya mengajak rombongan itu bertemu dengan Harno, kakak ibunda Rheza di halaman rumah keluarga Yoyon. Harno tak bicara sepatah kata pun. “Kalau ada yang mau disampaikan titip ke saya saja,” kata Nugroho.
Tewasnya mahasiswa Amikom Yogyakarta Rheza Sendy Pratama yang diduga korban kekerasan polisi dalam demonstrasi pada Ahad, 31 Agustus 2025 membetot perhatian berbagai kalangan. Video yang menunjukkan aparat polisi menggotong Rheza seperti membawa binatang beredar luas dan memicu kecaman publik. Dalam posisi telentang, empat polisi membawa Rheza, masing-masing dengan memegang tangan dan kakinya pada video itu.
Ada juga video yang menunjukkan Rheza sedang mengendarai sepeda motor jenis trail, berboncengan dengan temannya dalam kecepatan tinggi di kawasan Ring Road Utara, depan markas Polda. Mereka hendak menembus barikade polisi yang bersiaga.
Rheza terjatuh bersama sepeda motor itu ketika aparat menembakkan gas air mata saat berbalik arah. Rezha tergeletak dan didatangi polisi. Sedangkan, teman yang dia bonceng lari dan dikejar polisi.
Rheza tewas pada Ahad pagi saat dibawa aparat kepolisan ke RSUP Dr. Sardjito. Keluarganya menolak proses autopsi dan langsung menguburkannya pada hari yang sama. Beredar kabar bahwa polisi menekan pihak orang tua Rheza untuk membuat surat pernyataan yang isinya tak akan menuntut penyelidikan dan autopsi.
Kapolda DIY Inspektur Jenderal Anggoro Sukartono membantah polisi menekan keluarga Rheza untuk menandatangani surat pernyataan “Saya belum mendengar soal itu. Siapa yang membuat pernyataan?” kata Anggoro usai bertemu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Komplek Kepatihan, Selasa, 2 September 2025.
Anggoro menyatakan Polda telah meminta autopsi, tapi keluarga menolak. Dia mengklaim saat Rheza terkapar di tengah bentrokan, anggotanya mengevakuasi dia dengan membawanya masuk ke dalam Markas Polda DIY karena kondisinya lemah. Dokter kepolisian kemudian menanganinya.
Tim medis kepolisian kemudian membawa Rheza ke RSUP dr Sardjito. Dalam situasi ricuh, aparat, kata Anggoro setidaknya menangkap enam demonstran, satu di antaranya adalah Rheza.
Meski ada korban tewas dalam bentrokan itu, Anggoro berkukuh Polda DIY tidak pernah menginstruksikan adanya kekerasan dalam menghadapi massa aksi. “Tidak ada instruksi untuk melakukan atau menghalau (demonstran) dengan keras. Yang dibicarakan ada, tidak ada instruksi itu,” kata dia.
Pribadi Wicaksono berkontribisi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Ada Semangka Setipis Kartu di Menu Makan Bergizi Gratis