KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mendukung langkah Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Koalisi menggugat pernyataan Fadli yang menyangkal adanya bukti-bukti tentang peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Komnas Perempuan menegaskan gugatan dengan registrasi perkara nomor 303/G/2025/PTUN-JKT itu merupakan langkah masyarakat sipil yang patut diapresiasi dan didukung untuk menolak impunitas dan menegaskan kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak korban.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti menekankan pentingnya Majelis Hakim PTUN yang mengadili perkara ini menjunjung tinggi prinsip keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum. “Meski perkara ini diajukan melalui jalur administrasi di PTUN, Komnas Perempuan mendorong majelis hakim memeriksa perkara ini dengan perspektif gender dan pendekatan yang berpusat pada korban,” kata Yuni melalui keterangan pers, dikutip pada Sabtu, 20 September 2025.
Sebab, Yuni berujar penyangkalan atas perkosaan massal pada Mei 1998 bukan sekadar sengketa administrasi, melainkan menyangkut martabat korban dan bagaimana membangun masa depan kebangsaan yang bermartabat.
Adapun Komnas Perempuan, sebagai lembaga HAM nasional yang lahir dari pengalaman sejarah perkosaan dan kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998, memandang bahwa gugatan masyarakat sipil tidak hanya menegaskan tanggung jawab administrasi Fadli Zon selaku pejabat negara. Gugatan itu juga merupakan wujud tanggung jawab hukum yang wajib dipenuhi oleh seluruh penyelenggara negara dalam merespons kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam berbagai konteks dan situasi.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Rr. Sri Agustini mengingatkan Indonesia telah menyatakan komitmen hukumnya pada dunia internasional melalui the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), khususnya Pasal 2, 5, dan 15, yang menegaskan kesetaraan perempuan di hadapan hukum dan kewajiban negara menghapus diskriminasi. Selain itu, Indonesia memiliki Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 yang mewajibkan hakim mengedepankan perspektif gender.
“Dengan standar ini, putusan PTUN diharapkan tidak hanya menghadirkan kepastian hukum, tetapi juga melindungi korban dan memperkuat hak atas kebenaran,” kata Sri Agustini.
Komnas Perempuan pun mendesak agar Kementerian Kebudayaan menarik kembali pernyataan yang menyangkal peristiwa perkosaan massal Mei 1998. Komnas juga meminta kementerian menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban serta masyarakat.
Tak hanya itu, lembaga hak asasi perempuan itu mendesak pemerintah untuk menegaskan kembali komitmen penyelesaian pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi Mei 1998. “Pada saat yang sama, Komnas Perempuan mengajak masyarakat luas untuk terus merawat ingatan kolektif atas peristiwa Tragedi Mei 1998 termasuk perkosaan massal sebagai bagian penting dari sejarah bangsa, agar tragedi serupa tidak terulang,” kata mereka.
Koalisi Masyarakat Sipil menggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon ke PTUN Jakarta, pada Kamis, 11 September 2025. Kuasa hukum penggugat, Jane Rosalina, mengatakan objek gugatan mereka mengacu pada pernyataan Fadli yang dirilis oleh Kementerian Kebudayaan pada 16 Juni 2025.
Dalam pernyataan tersebut, Fadli mengatakan laporan tim gabungan pencari fakta tentang pemerkosaan massal 1998 hanya berisi angka tanpa didukung bukti yang kuat. Politikus Partai Gerindra itu lantas mengingatkan agar tidak mempermalukan bangsa sendiri dengan membicarakan peristiwa Mei 1998 tersebut.
Jane menegaskan pernyataan Fadli itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Atas pernyataannya itu, Fadli juga dinilai melampaui kewenangannya sebagai Menteri Kebudayaan.
Dalam klarifikasinya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan mengakui adanya peristiwa pemerkosaan pada kerusuhan 1998. Namun, ia berkukuh pemerkosaan itu tak bisa disebut terjadi secara massal.
"Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis," kata Fadli dalam rapat kerja bersama dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu, 2 Juli 2025.
Ia lalu membandingkan dengan jumlah korban yang dibantai oleh tentara Jepang yang mencapai 200 ribu orang di Nanjing, Cina. Fadli juga mencontohkan kasus massal dalam pembantaian warga muslim Bosnia yang jumlahnya ia perkirakan hingga 50 ribu nyawa.
Dengan contoh kasus genosida itu, ia menyebut agar suatu kasus disimpulkan sebagai bentuk kejahatan massal maka harus terekam dalam dokumentasi yang akurat. Mantan Wakil Ketua DPR itu mengaku telah membaca temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 1998 dan tetap meragukan pemerkosaan terjadi secara massal.