JARINGAN Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengecam kebijakan Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya yang meminta sekolah-sekolah menahan siswa hingga sore hari pada Senin, 20 Oktober 2025. Instruksi itu bertepatan dengan peringatan satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menilai langkah Polrestabes Surabaya tersebut sebagai bentuk pembatasan ruang ekspresi dan kontrol berlebihan terhadap peserta didik. Ia menilai instruksi itu menunjukkan paranoia negara terhadap suara masyarakat, termasuk dari kalangan pelajar.
“Langkah ini bentuk pembatasan ruang ekspresi dan kontrol yang berlebihan terhadap peserta didik. Kalau konteksnya adalah ‘mengantisipasi demo’, maka ini adalah bentuk paranoia kekuasaan terhadap suara rakyat, bahkan terhadap suara anak muda yang seharusnya justru dilindungi hak berekspresinya,” ujar Ubaid dalam keterangan tertulis, Ahad, 19 Oktober 2025.
Instruksi yang dikritik JPPI ini tertuang dalam surat koordinasi Polrestabes Surabaya tertanggal 14 Oktober 2025. Surat itu ditujukan kepada Dinas Pendidikan Jawa Timur sebagai pembina SMA/SMK/MA se-Surabaya. Isinya, polisi meminta pihak sekolah mengadakan kegiatan tambahan hingga sore hari dan memastikan siswa tetap berada di sekolah pada Senin, 20 Oktober 2025.
Menurut Ubaid, dunia pendidikan tidak boleh dijadikan alat pengamanan politik. Ia menyebut kebijakan semacam ini berbahaya karena menggeser fungsi pendidikan dari ruang pembelajaran dan pembentukan warga negara kritis menjadi instrumen kekuasaan yang menakut-nakuti murid dan guru. “Sekolah adalah ruang belajar, bukan penjara sementara untuk menahan potensi kritik,” kata dia.
Ubaid juga menilai pemerintah salah alamat dalam melihat ancaman. Ia menyesalkan apabila pembatasan tersebut berkaitan dengan momentum satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, yang seharusnya menjadi momen refleksi kinerja, bukan pembungkaman ekspresi publik.
“Yang seharusnya diantisipasi bukan siswa yang ingin menyampaikan aspirasi, tetapi pemerintah yang alergi terhadap kritik. Surat seperti ini menunjukkan ketakutan negara terhadap partisipasi warga muda, padahal mereka adalah bagian dari demokrasi yang sah,” ujarnya.
Kepala Satuan Pembinaan Masyarakat (Kasat Binmas) Polrestabes Surabaya AKBP Diyana Suci Listyawati membenarkan surat tersebut. Diyana menjelaskan, langkah ini merupakan upaya mitigasi untuk mencegah siswa terlibat dalam aksi demonstrasi yang berpotensi anarkis seperti yang terjadi pada akhir Agustus 2025.
Ia menambahkan, sebagian pelaku aksi anarkis pada demonstrasi akhir Agustus lalu adalah anak-anak usia sekolah. “Jadi bukan soal unjuk rasa dan membatasi penyampaian aspirasi, tapi mencegah mereka terlibat dalam tindakan anarkisme,” kata Diyana saat dihubungi, Ahad, 19 Oktober 2025.
Diyana beralasan, siswa SMA masih membutuhkan bimbingan. Karena itu, pihaknya berkoordinasi dengan dinas pendidikan setempat untuk mengimbau sekolah menjaga para siswanya agar tidak berkegiatan di luar sekolah hingga sore hari pada Senin. “Jadi kami jaga anak-anak. Daripada nanti berujung ke anarkisme, mending berkegiatan di sekolah saja. Misalnya ekstrakurikuler atau lainnya,” tutur dia.
Ubaid Matraji menilai pendekatan keamanan semacam ini keliru. Ia menegaskan bahwa polisi dan dinas pendidikan seharusnya memberikan pendidikan tentang demokrasi dan hak berekspresi kepada siswa, bukan membungkamnya. “Sekolah bukan benteng represi. Polisi dan dinas pendidikan seharusnya mengedukasi soal demokrasi dan hak berekspresi, bukan malah mengunci pintu sekolah dan membungkamnya,” ujar dia.