Liputan6.com, Jakarta Mahasiswa dari keluarga ekonomi rentan sering kali merasa harus menjadi penopang masa depan keluarga. Namun, hal ini bisa menimbulkan beban psikologis pada mahasiswa tersebut.
“Ketika harapan orangtua terlalu tinggi, mahasiswa bisa merasakan beban psikologis yang sangat berat, bahkan hingga memicu perilaku menyakiti diri sendiri,” dikutip dari Psychology Today.
Tidak hanya itu, mahasiswa dari keluarga mapan juga menghadapi tekanan berbeda. Studi Suniya Luthar menunjukkan bahwa standar akademik yang kaku dapat membuat mahasiswa dari kalangan berada kehilangan arah dan merasa terjebak.
“Kondisi finansial yang menekan dan ekspektasi akademik tinggi dapat memperburuk kesehatan mental mahasiswa,” kata peneliti dari UCL, dr. Tayla McCloud.
Temuan ini diperkuat laporan King’s College London yang mencatat kasus kesehatan mental mahasiswa meningkat hampir tiga kali lipat sejak 2016
Harapan Orangtua Tanpa Henti Justru Jadi Beban Psikologis
Dorongan orangtua untuk anak agar sukses memang sering dianggap wajar. Namun, ketika harapan tersebut berubah menjadi tekanan tanpa henti, kondisi ini justru berbalik menjadi beban psikologis.
Mahasiswa dari keluarga kurang mampu biasanya merasa harus berjuang lebih keras karena menjadi harapan utama bagi masa depan keluarga. Hal ini memicu rasa bersalah berlebihan bila gagal, bahkan bisa mendorong depresi.
Bagi keluarga mapan, standar akademik tinggi yang dipaksakan dapat membuat mahasiswa kehilangan kebebasan memilih jalan hidupnya.
Tekanan semacam ini, jika tidak diimbangi dukungan emosional, dapat berujung pada kelelahan mental yang serius.
Mahasiswa Lebih Rentan Depresi
Penelitian terbaru dari University College London mengungkapkan bahwa mahasiswa lebih berisiko mengalami depresi dibandingkan teman sebaya yang langsung bekerja.
Menurut laporan dari The Guardian, faktor utamanya adalah beban akademik, ditambah kondisi finansial yang semakin sulit. Lonjakan harga sewa tempat tinggal, inflasi, hingga pinjaman pendidikan menambah tekanan pada mahasiswa.
“Kondisi finansial yang menekan dan ekspektasi akademik tinggi dalam konteks sosial ekonomi saat ini dapat memperburuk kesehatan mental mahasiswa,” jelas Tayla.
Menariknya, penelitian ini menunjukkan bahwa meski mahasiswa cenderung berasal dari keluarga lebih mapan, justru mereka lebih rentan terhadap gejala depresi dan kecemasan.
Hal ini menantang pandangan lama bahwa mahasiswa selalu memiliki kesehatan mental lebih baik dibanding non-mahasiswa.
Pentingnya Memberi Ruang untuk Beristirahat
Meski dorongan orangtua dan tuntutan akademik tidak bisa sepenuhnya dihindari, para pakar menekankan pentingnya ruang bagi mahasiswa untuk beristirahat.
Konsep ini digambarkan Psychology Today seperti katup uap pada panci tekanan: tanpa pelepasan, tekanan bisa berakhir dengan bencana.
Mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk gagal, mencoba jalur baru, dan bahkan sesekali bertindak di luar “aturan” tanpa rasa takut mengecewakan orang tua.
Keseimbangan antara dorongan dan kebebasan adalah kunci agar mahasiswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga sehat secara mental.
Jika lingkungan keluarga dan kampus mampu mendukung ruang aman ini, mahasiswa akan lebih resilien menghadapi tantangan.
Dengan begitu, potensi yang mereka miliki dapat berkembang tanpa harus dibayangi depresi atau rasa tertekan.