Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno mengatakan bahwa pemerintah perlu lebih serius menekan praktik premanisme dan korupsi sebagai langkah konkrit menciptakan iklim investasi yang kondusif di Indonesia.
Sebab dua hal itu menjadi penghalang para investor menanamkan modalnya ke Indonesia setelah rantai birokrasi yang rumit.
"Kalau kita yang melihat soal investasi kan gampang, kalau dulu kan soal yang dikeluhkan masalah soal birokrasi yang terlampau panjang ya. Jadi, mestinya kita belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya bahwa persoalan investasi jangan ada lagi persoalan yang terkait dengan mata rantai birokrasi yang ribet. Apalagi hari ini ada kecenderungan kepala-kepala daerah memang dalam banyak hal tegak lurus dengan pemerintah pusat," kata Adi dalam Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin.
Adi menyoroti maraknya praktik premanisme yang masih menjadi momok bagi investor di kawasan industri. Fenomena ini kerap menimbulkan ketakutan bagi pelaku usaha untuk membangun industri dan pabrik.
Oleh karena itu, pembentukan satuan tugas anti-premanisme didorong agar tak hanya sekadar jargon, melainkan harus diwujudkan secara konkret guna menjamin kepastian usaha dan keamanan investasi.
"Kita tahu terutama di kawasan-kawasan industri seperti di Bekasi, ataupun di Jawa Tengah, ataupun di Banten. Itu kan kalau kita membaca rata-rata argumen mereka kan enggak happy dengan itu semua. Karenanya bagi saya satgas (satuan tugas) anti-premanisme itu bukan hanya sebuah jargon, tapi menjadi sesuatu hal yang memang harus diwujudkan," tuturnya.
Baca juga: RI kejar investasi dan deregulasi guna ciptakan 19 juta lapangan kerja
Baca juga: Korsel bidik investasi besar-besaran di industri pertahanan dan kedirgantaraan
Baca juga: Bertemu fund manager, Purbaya yakinkan soal keberlanjutan fiskal
Selain premanisme, ia juga menyoroti pentingnya supremasi hukum dalam pemberantasan korupsi. Dirinya menilai praktik korupsi yang masif dari pusat hingga daerah menjadi hambatan serius bagi masuknya investasi.
"Kalau kita melihat angka korupsi di kita ini kan agak ngeri-ngeri sedap ya. Karena memang korupsinya bukan hanya berjamaah, bukan hanya kolektif, tapi juga terjadi mulai pusat hingga daerah,” ujarnya.
Kedua hal itu menjadi pekerjaan rumah (PR) Prabowo-Gibran agar bisa tetap mendapatkan kepercayaan dari investor asing.
Meski demikian, Adi mengapresiasi langkah penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Adapun berdasarkan laporan NEXT Indonesia Research & Publications, aparat penegak hukum berhasil mengembalikan uang negara senilai Rp1,7 triliun dari para terpidana kasus korupsi.
Nilai tersebut berasal dari rampasan hasil korupsi, lelang barang rampasan, dan penguasaan kembali kawasan hutan. Dalam laporan itu juga disebutkan 43 kasus korupsi ditangani oleh Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama setahun terakhir, dengan potensi kerugian negara yang berhasil ditekan mencapai Rp320,4 triliun.
"Kalau memang political will-nya soal supremasi hukum, termasuk juga soal reformasi struktural yang terkait dengan mata rantai birokrasi yang panjang, kalau rasa-rasanya di Indonesia itu agak mudah lah untuk mendatangkan investasi," terangnya.
Menurut Adi, soliditas dukungan politik terhadap pemerintah saat ini menjadi momentum untuk memperkuat reformasi struktural dan pemberantasan korupsi, yang ujungnya memperkuat daya tarik investasi di Indonesia.
Baca juga: Pemerintah siapkan sejumlah langkah strategis guna tekan nilai ICOR
Baca juga: Asosiasi agen reksa dana Paperdo umumkan Co-Chair baru
Baca juga: Pendidikan lingkungan dini investasi bentuk generasi bijak sampah
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Indra Arief Pribadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.