
Kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) bukan hanya soal akademik. Selama tiga hingga empat tahun menimba ilmu di Yogyakarta, mahasiswa akan hidup di satu-satunya provinsi yang memiliki status keistimewaan yang dijamin undang-undang. Di Pengembangan Inisiatif dan Orientasi Mahasiswa Baru (PIONIR) UGM 2025, mahasiswa baru diajak mengenali sisi istimewa Jogja lewat kelas Keistimewaan Yogyakarta.
"Karena mahasiswa baru itu nanti akan menjadi bagian dari Yogyakarta walau (hanya) selama 3 atau 4 tahun, sehingga kita harus memperkenalkan budaya Yogyakarta seperti apa? Kemudian kita harus tahu nanti ketika kita di Jogja itu harus menyapa orang bagaimana?” kata Koordinator Tim Materi Task Force Pionir UGM 2025, Iswari Nur Hidayati, Sabtu (2/8).
Kelas Keistimewaan Yogyakarta berlangsung untuk pertama kalinya di PIONIR UGM 2025. Materinya bukan sekadar pengenalan budaya atau pariwisata, melainkan juga tentang sistem pemerintahan khas yang menjadikan DIY sebagai satu-satunya daerah yang mempertahankan sistem keistimewaan yang dijamin undang-undang.

Perlu diketahui, keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Provinsi ini memiliki sistem pemerintahan khas, dengan Gubernur dijabat oleh Sultan dan Wakil Gubernur oleh Paku Alam. Status ini lahir dari sejarah panjang dan kontribusi besar Yogyakarta pada kemerdekaan Indonesia.
Materi Kelas Keistimewaan Yogyakarta di PIONIR UGM 2025 mencakup aspek budaya seperti tradisi mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari Kamis Pon, sapaan lokal, makanan khas, dan aksara Jawa. Selain itu, mahasiswa baru juga diperkenalkan dengan situs budaya dan alam di Jogja seperti Gunung Merapi, Keraton, Panggung Krapyak, hingga Pantai Parangtritis, yang terhubung dalam satu garis imajiner atau Sumbu Filosofi Yogyakarta. Video pembelajaran untuk materi ini diproduksi langsung oleh mahasiswa di bawah pengawasan ketat tim Task Force, sehingga relevan dan mudah diterima oleh para maba Gen Z.
Game-Based Learning yang Didaftarkan HAKI
Untuk memastikan materi tidak sekadar "lewat", tim materi merancang modul pembelajaran dengan pendekatan inovatif. Penyampaiannya pun tidak dilakukan secara satu arah atau teacher-centered learning. “Materi itu memang kita desain ada beberapa hal ya. Yang pertama adalah kita punya materi yang dibaca, knowledge yang memang disampaikan oleh mahasiswa. Yang kedua adalah materi yang memang itu dikemas dalam game-based learning,” jelas Iswari.
Iswari menyebut, sekitar 85 persen waktu di kelas dihabiskan untuk melibatkan mahasiswa dalam permainan interaktif. Cara ini diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta sampai lebih dari 70 persen ke dalam diri mahasiswa.

Modul pembelajaran PIONIR tahun ini telah disusun sejak Februari 2025, berisi teks, gambar, video, hingga permainan yang diproduksi oleh Tim Materi Task Force PIONIR 2025 bersama mahasiswa. Iswari menyebut rencana pendaftaran hak kekayaan intelektual (HAKI) untuk materi PIONIR tahun ini.
“Ketika itu tidak menjadi hak kekayaan intelektual bagi pionir, itu akan sayang. Itu yang pertama. Yang kedua, terkait dengan knowledge yang kita masukkan di situ. Kalau misalnya nanti tidak di-HAKI-kan, itu nanti bisa dijadikan hak milik orang lain yang memang mereka tidak masuk di dalam penyusunan modul itu,” ungkap Iswari.
Mengapa Mahasiswa UGM Perlu Memahami Keistimewaan Jogja?

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, menekankan pentingnya mengenalkan keistimewaan Jogja kepada mahasiswa baru. “Mengenalkan tentang keistimewaan buat para mahasiswa baru itu agar mereka tahu bahwa membaca potret UGM (sebagai) bagian dari Yogyakarta dan bagian dari Indonesia,” kata Arie, Sabtu (2/8).
Harapan Arie, materi yang diberikan melalui Kelas Keistimewaan Yogyakarta dapat membantu mahasiswa dalam beradaptasi dan membuat mereka merasa nyaman selama menimba ilmu di Kota Pelajar.
“Kita tahu bahwa Yogyakarta memiliki sejarah dan secara sosiologis dapat membantu mereka punya pemahaman dan pengetahuan baru [...] Mereka mengenali lingkungan belajar tentang pluralitas keberagaman, kemajemukan. Mengapa kok keistimewaan? Dan itu perlu dikenalkan kepada mereka,” ujarnya.
Mahasiswa UGM bukan sekadar “numpang belajar” di Yogyakarta. Lebih dari itu, mereka diajak untuk ikut merawat dan menjaga keistimewaan daerah yang menjadi tempatnya bernaung. "Seperti bumi dipijak, langit dijunjung,” pungkas Iswari.