Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah resmi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2025 yang mengatur pemberian tunjangan khusus sebesar Rp30 juta bagi dokter spesialis, subspesialis, dokter gigi spesialis, dan subspesialis yang bertugas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).
Kebijakan ini disambut baik oleh berbagai pihak sebagai bentuk apresiasi nyata kepada tenaga medis yang rela mengabdi di daerah dengan akses pelayanan kesehatan terbatas. Namun, di balik kabar baik tersebut, sejumlah tantangan masih membayangi efektivitas kebijakan ini di lapangan.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Adjunct Professor di Griffith University Australia, Prof. Tjandra Yoga Aditama, menilai kebijakan pemberian tunjangan Rp30 juta untuk dokter spesialis di daerah terpencil layak diapresiasi karena menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap tenaga kesehatan yang bertugas di daerah sulit.
"Tentu kita amat menyambut baik Peraturan Presiden yang memberi tunjangan khusus para dokter spesialis yang bekerja di DTPK," ujar Prof. Tjandra kepada Health Liputan6.com, Kamis, 7 Agustus 2025.
Apakah Cukup Tunjangan Rp30 Juta untuk Dokter Spesialis di Daerah Terpencil?
Namun, dia juga menyoroti bahwa jumlah Rp30 juta per bulan itu mungkin belum cukup memadai jika dibandingkan dengan tantangan berat yang dihadapi para dokter di daerah yang sangat terpencil.
"Jumlah sekitar Rp30 juta itu mungkin belum memadai, apalagi kalau daerahnya benar-benar amat terpencil dan dengan berbagai tantangannya," katanya.
Lebih lanjut, Prof. Tjandra menekankan bahwa dokter spesialis tidak mungkin bekerja sendiri di DTPK. Mereka memerlukan tim pendukung lengkap dan fasilitas yang memadai, termasuk alat medis khusus, aliran listrik stabil, dan jaringan internet.
"Tanpa tim yang lengkap dan alat memadai, maka tugas dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis tidaklah akan optimal guna melayani masyarakat," katanya,
Dia juga mengingatkan bahwa alat medis yang dibawa ke daerah terpencil perlu pemeliharaan dan dukungan teknis dari perusahaan penyedia. Hal ini sering kali menjadi kendala karena keterbatasan akses dan logistik.
Kepastian Karier dan Masa Depan
Kebijakan ini juga disebut-sebut akan memberikan kesempatan pelatihan berjenjang dan pembinaan karier bagi dokter spesialis yang bertugas di DTPK. Namun, Prof. Tjandra menilai penting untuk ada kejelasan soal durasi pengabdian dan sistem rotasi.
"Apakah akan selamanya di sana sampai pensiun atau akan ada semacam rotasi sesudah sekian tahun? Kalau memang ada rencana rotasi, maka akan baik kalau sistemnya sudah diatur dengan jelas," ujarnya.
Menurutnya, kepastian ini akan membuat para dokter merasa lebih tenang dalam menjalankan tugas dan membangun karier jangka panjang.
Pendidikan Anak Jadi Pertimbangan Serius
Selain aspek teknis dan profesional, faktor keluarga juga tak boleh diabaikan. Banyak dokter spesialis yang memiliki anak dan tentu ingin memastikan anak-anak mereka mendapatkan akses pendidikan berkualitas, terutama jika harus tinggal lama di DTPK.
"Kalau orang tuanya yang menjadi dokter/dokter gigi spesialis dan subspesialis kerja dan tinggal di daerah terpencil, maka tentu perlu dipikirkan bagaimana pendidikan anak-anak mereka," ujar Prof. Tjandra.
Dia menegaskan bahwa pendidikan yang layak untuk anak tenaga kesehatan harus masuk dalam perencanaan kebijakan, agar para dokter tidak ragu mengabdi di daerah.