KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, pemangkasan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menjawab pekerjaan rumah utama, yakni keresahan pekerja yang mengalami tekanan ekonomi.
Setelah tunjangan perumahan dihapus, anggota DPR RI masih menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp65,5 juta per bulan. Sementara itu, masyarakat tengah berhadapan dengan persoalan serius berupa melemahnya daya beli, pasar tenaga kerja yang sempit, serta ketiadaan jaminan transisi kerja yang layak.
"Tunjangan DPR sama sekali tidak menjawab keresahan pekerja yang tengah terhimpit ekonomi atau kehilangan nafkah,” tegas Rizal kepada Media Indonesia, Minggu (7/9).
Dari sisi makro, lanjutnya, pemotongan tunjangan DPR juga tidak memperkuat ruang fiskal untuk stimulus pro-pertumbuhan, tidak meredam risiko pelemahan konsumsi, dan tidak menjawab akar masalah rapuhnya daya tahan industri padat karya terhadap kombinasi tekanan biaya produksi, regulasi, dan perubahan pola konsumsi.
Menurut ekonom Indef itu, langkah DPR tersebut lebih bersifat simbol politik ketimbang solusi substansial. Pekerjaan rumah utama justru terletak pada fungsi legislasi dan pengawasan, yakni memastikan kebijakan fiskal memberi ruang penciptaan lapangan kerja, mengawal regulasi ketenagakerjaan agar lebih berimbang, serta menghadirkan mekanisme perlindungan pekerja yang konkret. Tanpa itu, pemangkasan tunjangan hanya a sebagai langkah kosmetik untuk meredakan kegaduhan publik di tengah sentimen negatif terhadap elite, dengan dampak minimal bagi APBN maupun kesejahteraan rakyat.
"Pemotongan tunjangan DPR pada dasarnya lebih menyerupai gesture moral politik, ketimbang koreksi struktural dan tidak menyentuh masalah mendasar ekonomi," tuding Rizal.
Ia menilai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dikabarkan terjadi PT Gudang Garam, justru memperlihatkan wajah riil ekonomi nasional yang masih rapuh.
Ketika konsumsi rumah tangga melemah akibat kehilangan pendapatan, multiplier ekonomi lokal ikut tereduksi, dan berpotensi menggerus target pertumbuhan 5%.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menilai selama ini kinerja DPR tidak produktif.
Menurutnya, DPR sering kali membentuk undang-undang yang tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Selain soal produktivitas, substansi undang-undang yang dihasilkan kerap justru memicu perdebatan internal dan lebih menonjolkan kepentingan politik dibandingkan kebutuhan masyarakat luas.
"Kinerja DPR itu sudah tidak produktif dan kalau mengesahkan undang-undang tidak betul-betul untuk kepentingan rakyat," tudingnya.
Ristadi mengatakan yang kemudian memicu kekecewaan publik hingga terjadi demonstrasi besar-besaran ialah munculnya kebijakan kenaikan tunjangan sebagai penambahan penghasilan bagi anggota parlemen.
Kebijakan tersebut dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat saat ini. Banyak pekerja dan buruh sedang menghadapi kesulitan akibat turunnya daya beli.
Di sisi lain, Presiden Prabowo tengah gencar menggalakkan efisiensi anggaran negara.
"Langkah ini mencederai rasa keadilan publik, khususnya di tengah kondisi rakyat yang semakin berat," pungkasnya. (E-4)