USMAN Hamid tak bisa melupakan momen-momen lucu saat Munir Said Thalib memburu beasiswa ke Utrecht University, Belanda. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu bercerita, awalnya Munir sempat gagal mendapatkan beasiswa ke kampus tersebut.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Utrecht tidak menerima permohonan beasiswa Cak Munir karena kampuan bahasa Inggrisnya masih kurang," kata Usman saat ditemui di kantornya di bilangan Jakarta Pusat pada Ahad, 24 Agustus 2025.
Usman mengaku juga mengajukan permohonan beasiswa ke Utrecht bersama Munir. Namun, Usman membatalkan permohonan tersebut karena permintaan Munir. Padahal, kata Usman, ia telah diterima di kampus tersebut. “Munir bilang: ‘Yah Man, jangan dulu lah, aku dulu lah, kau masih muda, masih lama',” kata Usman mengingat koleganya sambil tersenyum.
Setelah permohonan beasiswa Munir ditolak, kata Usman, banyak kolega Munir di Indonesia dan luar negeri membantu pria asal Malang, Jawa Timur itu agar bisa tetap kuliah di Utrecth. Akhirnya atas dorongan banyak kolega Munir, Interchurch Organisation for Development Cooperation (ICCO) bersedia memberikan Munir beasiswa masternya ke Utrecht.
Setelah mendapatkan beasiswa dari organisasi tersebut, Munir pun gencar mengikuti kursus Bahasa Inggris. Namun, Munir menjadi sering bolos kelas Bahasa Inggris karena menghadiri berbagai konferensi pers mengenai putusan pelanggaran HAM kasus Tanjung Priok dan Timor Timur.
Kemampuan Bahasa Inggris Munir yang minim, kata Usman, juga terlihat saat dia mengisi seminar di Brussel, Belgia, pada 2002. Saat mengisi seminar, panitia melihat paparan Munir menggunakan Bahasa Inggris patah-patah. Sehingga, panitia meminta Munir menggunakan Bahasa Jawa dalam seminar tersebut, kemudian disediakan penerjemahnya ke dalam Bahasa Inggris.
"Aku pernah di seminar, kata orang di sana, udahlah Mas Munir bahasa Inggrisnya patah-patah, pakai bahasa Suroboyoan saja,” kata Usman mengingat cerita Munir. “Dia ngomong di seminar pakai bahasa Suroboyoan jadinya."
Meski dengan keterbatasan Bahasa Inggris, kata Usman, Munir tetap bertekad melanjutkan beasiswa. Menurut Munir, di Belanda banyak orang Jawa yang bisa membantunya dalam berkomunikasi.
Adapun karya tulis ilmiah yang ditulis Munir sebagai syarat beasiswa mengenai bagaimana rezim melakukan taktik penghilangan paksa sebagai teror kepada oposisi. Namun, Munir belum sempat kuliah di kampus yang diidamkannya.
Munir dibunuh di langit Romania saat pesawat Garuda bernomor 974 membawanya untuk studi ke Utrecht pada 7 September 2004. “ICCO yang memberikan beasiswa dia, akhirnya memberikan beasiswa itu ke keluarga Munir,“ ujar Usman.
Poenky Indarti, yang juga kolega Munir, sempat mengurus administrasi beasiswa dan berkas-berkas visa Munir. Poengky bercerita, Munir memintanya untuk mencarikan beasiswa ke Belanda. Ia mengatakan saat itu sebetulnya ada pilihan beasiswa ke Amerika Serikat.
Namun ia lupa mengapa Munir akhirnya memilih ke Belanda. Saat itu ada beberapa penyedia beasiswa ke Belanda, seperti Nuffic dan ICCO. Nuffic mewajibkan pelamar beasiswa dengan TOEFL sehingga Munir memilih ICCO.
“Mereka (ICCO) mau ngasih duit. Terserah Munir mau sekolah di mana. Ternyata pilihannya Utrecht. Aku sendiri lupa kenapa pilih Utrecht,” kata Poengky kepada Tempo di Jakarta pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Poengky bercerita, saat itu diminta tolong Munir karena visa pelajarnya belum selesai menjelang tenggat waktu pendaftaran. Bahkan, Munir sempat memberikan email dan kata kuncinya yang digunakan untuk beasiswa kepada Poengky.
“Karena profesornya memperbolehkan terlambat masuk asalkan jangan sampai tanggal sekian. Ternyata Kedutaan Belanda memberi tahu visanya sudah jadi. Berarti awal
September dia bisa pergi,” ujar Poengky.
Poengky menceritakan sempat ikut mengantar ke bandara. Bahkan, ia sempat memotret Munir sebelum pergi. Saat itu Munir sempat meminta Poengky sekolah ekonomi untuk nanti membuka lawfirm bisnis. Ia bercanda hanya ingin menerima klien dengan uang Rp 1 miliar.
“Jadi setelah dia meninggal, aku mikir Tuhan masa iya sih aku enggak boleh jadi orang kaya,” kata Poengky tersenyum mengingat perkataan Munir. “Kenapa Munir kamu ambil, padahal kami punya cita-cita bikin lawfirm.”