Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus potensi risiko pembatasan pasar (market foreclosure) dalam pengadaan BBM untuk badan usaha SPBU swasta, di tengah lonjakan permintaan BBM nonsubsidi.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, mengatakan KPPU telah menganalisis kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membatasi kenaikan impor bensin nonsubsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan 2024 sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tanggal 17 Juli 2025.
Deswin menjelaskan, hasil utama analisis KPPU menunjukkan bahwa kebijakan tersebut telah memengaruhi kelangsungan operasional Badan Usaha (BU) swasta yang bergantung sepenuhnya pada impor, mengurangi pilihan konsumen atas produk BBM nonsubsidi, dan memperkuat dominasi pasar Pertamina.
“Keterbatasan pasokan BBM nonsubsidi telah berdampak pada berkurangnya pilihan konsumen di pasar dan memengaruhi kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat maupun pelaku usaha,” jelasnya melalui keterangan resmi, dikutip Sabtu (20/9).
Padahal, menurut Deswin, tren peningkatan konsumsi BBM nonsubsidi menunjukkan perkembangan positif yang sebaiknya terus dijaga. Ia mencatat pembatasan impor berdampak pada tambahan volume impor bagi BU swasta yang berada di kisaran 7.000–44.000 kiloliter.
Sementara itu, PT Pertamina Patra Niaga memperoleh tambahan volume sekitar 613.000 kiloliter. Dalam segmen BBM nonsubsidi, pangsa pasar Pertamina Patra Niaga saat ini mencapai sekitar 92,5 persen, sedangkan BU swasta berada di kisaran 1–3 persen.
“Kondisi ini menggambarkan struktur pasar yang masih sangat terkonsentrasi, sehingga upaya untuk menjaga keseimbangan persaingan usaha menjadi penting agar konsumen tetap memperoleh manfaat dari keberadaan berbagai pelaku usaha,” jelas Deswin.
Dari perspektif persaingan usaha, kebijakan pembatasan impor ini dianalisis menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) yang diatur dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2023 tentang Pemberian Saran dan Pertimbangan terhadap Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan dengan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan analisis DPKPU, KPPU mengidentifikasi bahwa kebijakan membatasi kenaikan volume impor sebesar 10 persen bersinggungan dengan DPKPU angka 5 huruf b terkait indikator membatasi jumlah penjualan/pasokan barang dan/atau jasa.
Deswin menjelaskan, pengarahan agar BU swasta membeli pasokan kepada kompetitor, PT Pertamina Patra Niaga, ketika kehabisan stok atau kebijakan impor BBM nonsubsidi melalui satu pintu, juga bersinggungan dengan DPKPU angka 6 huruf c terkait indikator penunjukan pemasok tertentu.
“Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan tantangan dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat, antara lain berupa risiko pembatasan pasar (market foreclosure), perbedaan harga dan pasokan atau diskriminasi, serta dominasi pelaku tertentu,” ungkapnya.
Di sisi lain, kata dia, kebijakan ini akan berdampak pada terbatasnya pemanfaatan infrastruktur yang dimiliki BU swasta, juga dapat menimbulkan inefisiensi yang berimplikasi pada munculnya sinyal negatif bagi investasi baru di sektor hilir migas.
“Memperhatikan dinamika yang ada, KPPU memandang penting agar kebijakan terkait impor BBM nonsubsidi terus dievaluasi secara berkala sehingga dapat mendukung terciptanya iklim usaha yang seimbang bagi seluruh pelaku usaha,” tegas Deswin.