Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, menyarankan pemerintah membatalkan atau menunda pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap produk keramik dari China.
Menurutnya, usulan KADI itu tidak tepat dan harus dilakukan peninjauan ulang. Ia menilai jika dipaksakan maka perdagangan dan perekonomian Indonesia terdampak implikasi negatif, salah satunya menyangkut kelangkaan stok keramik di pasaran berimbas terhadap kenaikan harga.
“Dalam hal ini pressure kepada Kementerian Keuangan bahwa Kementerian Keuangan harus melihat apakah memang saran ini tepat atau rekomendasi ini tepat, karena tentu yang kita takutkan implikasinya bermacam-macam, jangan sampai satu regulasi berimplikasi ke beberapa hal yang tentunya yang tidak kita inginkan ke depannya,” ujar Andry melalui keterangan tertulis, Jumat (16/8).
Andry mngatakan saat ini saja sebelum BMAD ditetapkan ada kebutuhan keramik yang tinggi dan mulai terjadi kelangkaan di pasar. Hal ini menghambat masyarakat untuk membangun rumah, termasuk para kontraktor yang sedang mengerjakan konstruksi perumahan terkena imbasnya.
“Pemerintah harus jelas terkait dengan regulasi ini, karena kita tahu bahwa belum ditentukan keputusan dari BMAD ini, iya atau tidak, barang itu sudah langka. Kalau barang sudah langka real estate sulit untuk membangun padahal kontrak sudah berjalan, konstruksi sudah berjalan, kita juga melihat masyarakat pada akhirnya harus menanggung biaya akibat kelangkaan ini,” ujar Andry.
Kelangkaan ini menurut Andry mengerek harga keramik naik dan memukul daya beli masyarakat menjadi turun. Andry mengimbau pemerintah supaya tidak membuat kebijakan kontraproduktif yang membuat tekanan terhadap konsumsi masyarakat.
Andry mempertanyakan rencana penerapan BMAD yang awalnya mencapai 200 persen kini berubah turun menjadi sekitar 40-50 persen. Menurunya mau sekecil apapun tarif yang dipatok harus dibuktikan secara objektif terlebih dahulu bahwa telah terjadi dumping.
“Regulasi itu harus jelas bahkan mau dibuat 10 persen sekalipun, kecil sekalipun harus terbukti bahwa ternyata memang terbukti dumping sebesar 10 persen, sehingga kita bisa mengenakan bea masuk 10 persen, nah ini tidak ada buktinya apa?” ungkap Andry.
Andry meminta KADI membuka data kepada masyarakat secara objektif dengan angka yang akurat dan transparan jika memang telah terjadi dumping. Jika KADI tidak mampu membuktikan hal tersebut, Andry meminta untuk dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam.
Lebih lanjut, Andry menuturkan jangan sampai kemudian pihak China melakukan balasan terhadap produk-produk dalam negeri.
“Jangan sampai nanti otoritas dari China mempertanyakan dan pada akhirnya mereka juga membalas pengenaan bea masuk anti dumping untuk produk-produk kita, padahal kita tidak melakukan dumping. Nah itu yang kami takutkan sih sebetulnya, proses balasan ini yang bisa terjadi,” tutur Andry.