REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, politik adu domba berbasis sentimen agama kian mengancam persatuan bangsa. Propaganda keagamaan yang dikemas dengan narasi kebencian dan pemisahan 'kita' versus 'mereka; kini menjelma menjadi senjata ampuh untuk memecah belah masyarakat, terutama generasi muda yang aktif di ruang digital. Fenomena ini bukan sekadar perdebatan ideologis, tetapi menjadi ancaman serius bagi fondasi kebangsaan jika tidak segera disikapi dengan bijak.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syekh Nurjati Cirebon, Prof Didin Nurul Rosyidin menilai strategi adu domba berbasis agama di dunia maya kerap dimanfaatkan kelompok ekstrem seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) untuk mendelegitimasi pemerintah dan ulama moderat.
Prof Didin menilai strategi ini, yang kerap digunakan oleh kelompok ekstremis untuk menyasar generasi muda guna menyebarkan propaganda dan pengaruhnya. Hal ini muncul sebagai respons atas penangkapan anggota jaringan kelompok yang terafiliasi ISIS di Sumatera Utara dan Sumatera Barat pekan lalu.
Ia mengatakan biasanya kelompok ekstremis-jihadis ini membawa narasi penyederhanaan dunia yang dinamis menjadi realitas biner, laiknya hitam-putih atau surga-neraka. Atas dasar itu, siapapun yang tidak sejalan dengan mereka, termasuk pemerintah, para ulama moderat, bahkan keluarga sekalipun, akan dianggap sebagai musuh yang harus dilawan.
“Dunia dibagi secara sederhana menjadi kita dan mereka, kawan dan musuh,” ujarnya di Cirebon, Rabu (15/10/2025).
Alumni dari Universitas Leiden, Belanda ini mengungkapkan ancaman terbesar dari propaganda dan adu domba ini adalah rusaknya fondasi kebangsaan negara, yang akan meruntuhkan sistem kenegaraan dan mengakibatkan perpecahan antar anak bangsa. Didin mengungkapkan, rongrongan ini kerap dieksploitasi dan dimanipulasi dengan bumbu ayat-ayat suci. Misalnya membenturkan Pancasila dengan dalil agama dan menganggapnya sebagai produk manusia yang tidak sebanding dengan wahyu Tuhan. Padahal hal ini bukanlah hal yang patut disandingkan.
“Itulah mengapa gerakan-gerakan radikal teroris terus mempersoalkan Pancasila agar sendi (fondasi) utamanya benar-benar hancur,” kata Prof Didin.
Prof Didin mengatakan terdapat dua faktor sosial-politik yang menjadi alasan utama mengapa propaganda ini kerap berhasil mempengaruhi anak muda. Pertama, kegagalan dalam pendidikan kurikulum agama dalam memberikan pengetahuan dan pengalaman beragama.
Menurutnya, masih banyak ustaz dan kyai yang lebih memfokuskan pada akumulasi pengetahuan agama tentang masa lalu dan bukan memfokuskan bagaimana beragama untuk masa depan. Akibatnya, pelajaran agama menjadi semakin kehilangan relevansinya bagi anak muda.
“Mereka sibuk bolak-balik kitab kuning dan ajaran serta pemikiran ulama klasik tapi gagal untuk mengkontekstualisasikan untuk masa kini dan masa depan," kata Didin.
Kemudian, lanjut Prof Didin, berkembangnya teknologi dan munculnya budaya popular dalam beragama juga mempengaruhi kerentanan anak muda. Di mana agama diukur dengan sebuah viralitas dan kepopuleran yang sifatnya instan dan tidak sustainable.
Siapa yang bisa mengendalikan budaya pop beragama, lanjut Prof Didin, maka model beragama itulah yang menarik anak muda. Sehingga masyarakat, khususnya anak muda gagal menemukan esensi beragama yang benar. Karena itu beragama harus didasarkan pada pengetahuan yang memadai agar tidak terjebak pada hal-hal aksesoris dan melupakan esensinya sebagai rahmat untuk semesta alam.
“Golongan anak muda yang berfikir instan, minim pengetahuan dan penghayatan agama menjadi sasaran empuk untuk segala bentuk propaganda termasuk pada bidang agama,” tukas Didin.
Putra daerah asal Kuningan, Jawa Barat ini mengungkapkan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk bisa menangkal propaganda yang meluas di era digital ini. Diperlukan kerjasama multipihak untuk bersama-sama membangun ekosistem religiusitas yang positif. Selain itu, Didin menekankan, perlunya ruang dialog antar umat beragama untuk mengikis perbedaan, dan rasa curiga demi membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
“Di sinilah perlunya ruang dialog yang terbuka dan jujur tanpa penghakiman untuk bisa menarik anak-anak muda untuk tertarik dan terlibat dalam kajian keagamaan," katanya.