
Eks Marketing PT Tinindo Internusa, Fandy Lingga, divonis 4 tahun penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Fandy Lingga terbukti bersalah melakukan korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah.
"Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun," ujar Ketua Majelis Hakim, Eryusman, saat membacakan amar putusannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (19/8).
Fandy Lingga tidak hadir secara langsung di ruang sidang. Dia menjalani sidang secara online lantaran sakit.
Selain pidana badan, Fandy Lingga juga dihukum pidana denda sebesar Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 3 bulan.
Majelis Hakim menyatakan Fandy terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Sebelum membacakan amarnya, Majelis Hakim turut menguraikan sejumlah pertimbangan memberatkan dan meringankan hukuman terhadap Fandy Lingga.
Hal yang memberatkan vonis yakni perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta perbuatan terdakwa telah menyebabkan kerugian negara yang besar.
Sementara itu, pertimbangan meringankan vonis yaitu Fandy belum pernah dihukum, dalam kondisi sakit yang memerlukan perawatan serta pengobatan yang intensif dan kontinu.
Adapun vonis tersebut lebih rendah dibandingkan tuntutan JPU. Sebelumnya, Fandy Lingga dituntut pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam dakwaannya, Fandy Lingga disebut melakukan korupsi bersama:
Hendry Lie selaku Beneficial Ownership PT Tinindo Inter Nusa; Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2016;
Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2017;
Harvey Moeis yang mewakili PT. Refined Bangka Tin;
Tamron alias AON selaku Beneficial Owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia;
Achmad Albani selaku General Manager Operational CV Venus Inti Perkasa dan General Manager Operational PT Menara Cipta Mulia;
Hasan Tjhie selaku Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa; Kwan Yung Buyung selaku pengepul bijih timah (kolektor);
Suwito Gunawan selaku Beneficiary Owner PT Stanindo Inti Perkasa;
M.B. Gunawan selaku Direktur PT Stanindo Inti Perkasa sejak tahun 2004;
Robert Indarto selaku Direktur PT Sariwiguna Binasentosa sejak tanggal 30 Desember 2019;
Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah, Tbk periode tahun 2016-2021;
Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah, Tbk 2016-2020;
Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah,Tbk periode April 2017-Februari 2020;
Bambang Gatot Ariyono selaku Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM periode tahun 2015-2020;
Suranto Wibowo selaku Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Periode Januari 2015 sampai Maret 2019;
Amir Syahbana selaku Kepala Bidang Pertambangan Mineral Logam Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode Mei 2018 sampai November 2021 dan selaku Plt Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode Juni 2020 sampai November 2021;
Rusbani selaku Plt Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode Maret 2019 sampai Desember 2019;
Supianto selaku Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Periode Januari 2020 sampai Juni 2020.
Fandy mewakili PT Tinindo Inter Nusa bertemu dengan Mochtar Riza Pahlevi dan Alwin Akbar yang meminta 5 persen kuota ekspor smelter swasta. Sebab, bijih timah yang diekspor oleh smelter swasta perusahaannya merupakan hasil produksi yang bersumber dari pertambangan di WIUP PT Timah Tbk.
Pertemuan tersebut tidak terjadi sekali. Bahkan yang ikut terlibat bertambah, seperti Eko Junianto, Harvey Moeis, Reza Ardiansyah, Aon, Robert Indarto, hingga Suwito Gunawan.
Kemudian Fandy Lingga memerintahkan Rosalina membuat penawaran ke PT Tinindo Intern Nusa mengenai penawaran kerja sama sewa alat processing timah kepada PT Timah Tbk atas persetujuan Henry Lie, bersama smelter swasta lainnya.
Dia juga disebut mengetahui dan menyetujui pembentukan perusahaan boneka untuk mengumpulkan Bijih Timah di wilayah PT Timah Tbk. Kemudian hasil tambang itu dijual Kembali ke PT Timah Tbk.
Dari penjualan itu, dia mendapatkan pembayaran penjualan timah itu melalui PT Tinindo Inter Nusa.
Dia juga menyetujui Tindakan Harvey Moeis dkk yang negosiasi dengan PT Timah Tbk terkait sewa smelter swasta dan menyepakati harga sewa tanpa studi kelayakan.
PT Tinindo Inter Nusa juga disebut menyetujui membayar biaya pengamanan kepada Harvey USD 500 sampai USD 750 per ton yang seolah dicatat sebagai CSR dari smelter beberapa perusahaan swasta. Total uang yang diberikan PT Tinindo Inter Nusa SGD 25.000 kepada Harvey Moeis per bulannya.
Fandy dkk juga disebut berupaya melegalkan pembelian biji timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan illegal di PT Timah Tbk.
Atas perbuatannya itu, sejumlah pihak diuntungkan, termasuk PT Tinindo Inter Nusa milik Hendry Lie sebesar Rp 1.052.577.589.599.