Jakarta (ANTARA) - Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari memandang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang sebesar 5,12 persen yoy terbantu oleh konsumsi dari pekerja sektor informal yang meningkat.
“Ketika data PDB kuartal II dirilis beberapa hari lalu, yakni 5,1 persen, lebih tinggi dari 4,9 persen pada kuartal I, kami tidak terkejut. Banyak yang bertanya, apakah ekonomi Indonesia benar-benar meningkat? Jawaban saya, ya, jika melihat sektor informal dan konsumen massal, kondisinya membaik dibanding tahun lalu,” kata Pranjul dalam media briefing secara daring di Jakarta, Jumat.
Pranjul menjelaskan pekerja sektor informal di Indonesia umumnya terkait dengan aktivitas pertanian dan usaha kecil yang mencakup 60 persen tenaga kerja nasional dan 55 persen porsi konsumsi.
HSBC Global Research menemukan bahwa pekerja sektor informal, sensitif terhadap harga, cenderung meningkatkan konsumsi ketika inflasi menurun.
Selain itu, dukungan dua paket stimulus fiskal dan kenaikan produksi pertanian turut memperkuat tren kenaikan konsumsi kelompok ini.
Di sisi lain, konsumsi pada pekerja formal terlihat melemah. Pekerja sektor formal, yang terkait dengan perusahaan besar dan memiliki keamanan kerja lebih baik, mewakili 40 persen tenaga kerja dan 45 persen konsumsi.
“Ini (sektor informal) memberikan kestabilan pada konsumsi, meski konsumsi kelas atas lebih lemah yang terlihat dari masih lemahnya penjualan mobil penumpang, transaksi kartu kredit, dan impor barang tahan lama. Namun konsumsi massal membaik, dan inilah yang menjaga angka PDB tetap kuat pada kuartal II di akhir Juni,” jelas Pranjul.
Meski pertumbuhan ekonomi pada kuartal II positif, Pranjul mengingatkan bahwa hal ini belum cukup karena kesenjangan output (output gap) yang masih negatif. HSBC Global Research mencatat, PDB Indonesia sekitar 7,5 persen di bawah tren pra-pandemi.
“Kita butuh pertumbuhan lebih tinggi dalam jangka panjang untuk menutup gap ini. Pertumbuhan ekonomi kuartal II adalah awal yang baik, tetapi kita butuh angka yang lebih tinggi lagi pada kuartal-kuartal berikutnya,” kata Pranjul.
Untuk menjawab tantangan tersebut, menurutnya, investasi korporasi harus meningkat agar kapasitas ekonomi tumbuh dan mampu menciptakan lapangan kerja dengan upah yang tinggi.
“Saat ini, investasi korporasi belum tinggi. Banyak perusahaan yang lebih memilih menabung daripada berinvestasi. Pertanyaannya, apa yang dapat mendorong mereka untuk berinvestasi? Ini menjadi tantangan, tidak hanya bagi Indonesia, tapi bagi banyak negara lain,” kata Pranjul.
Ia menilai ketidakpastian tarif, termasuk tarif tinggi AS terhadap negara ASEAN, berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, namun menjadi peluang dalam jangka menengah seiring pergeseran rantai pasok global.
Dengan reformasi, perbaikan infrastruktur, perluasan tenaga kerja terampil, dan kemudahan berbisnis, Pranjul memandang bahwa Indonesia dapat memperbesar skala ekspor manufaktur seperti tekstil, pakaian, alas kaki dan furnitur, menarik investasi asing langsung, serta mendorong pertumbuhan dalam 2-3 tahun ke depan.
Baca juga: Ekonom proyeksikan ekonomi RI bisa tumbuh 5,2 persen sepanjang 2025
Baca juga: Ekonom memproyeksikan ekonomi RI tetap tumbuh solid di kuartal II-2025
Baca juga: Ekonom sebut regional Asia tangguh di tengah ketidakpastian global
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.