Dari Habibie ke Prabowo–Purbaya: Orkestra Kebijakan yang Membuat Ekonomi Bekerja

2 days ago 15
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh : Aslichan Burhan, Direktur PINBUK ICMI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto menandai babak baru Indonesia dengan fase kerja yang menuntut kecepatan, koordinasi, dan keberanian mengambil keputusan.. Saya memandang arah yang dibawa Purbaya bukan sekadar deretan program, melainkan orkestra kebijakan—fiskal, perizinan, pembiayaan, dan perlindungan sosial—yang dimainkan serempak agar manfaatnya terasa sampai ke dapur rumah tangga, ke bengkel dan warung, petani, hingga ke kebun dan tambak. 

Pola ini mengingatkan kita pada pelajaran besar era Presiden B.J. Habibie: ketika kebijakan digerakkan cepat, terukur, dan lintas kementerian, kepercayaan pulih, ekonomi bangkit, dan rakyat kecil tidak ditinggalkan. Saat itu, pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen, rupiah yang sempat terperosok di kisaran Rp16.800 per dolar AS berhasil ditarik kembali menuju kisaran Rp6.550–Rp7.000, dan pertumbuhan ekonomi naik signifikan menjadi surplus 1 persen dalam waktu yang relatif singkat. Semangat yang menyatukan kebijakan menjadi sistem inilah yang perlu kita hidupkan lagi, tentu dengan alat dan sesuai tantangan zaman ini.

Pelajaran Habibie berdiri di atas tiga pilar plus satu fondasi. Pilar pertama, penyehatan jantung sistem keuangan. Pemerintah melalui BPPN menutup bank bermasalah, mengambil alih yang rapuh, dan merekapitalisasi yang layak—terapi kepercayaan agar tabungan kembali aman dan kredit mengalir. Pilar kedua, jaring pengaman sosial: program padat karya, bantuan kesehatan untuk keluarga miskin, dukungan layanan dasar, dan beasiswa 4 juta anak agar sekolah tidak terputus. Kebijakan ini meredam luka sosial sekaligus menyiapkan pemulihan permintaan domestik. Dalam hal ini pemerintah melibatkan peran serta masyarakat. 

Penulis sendiri melalui PINBUK ICMI turut menjadi pelaksana program Penanggulangan Pengangguran Pekerja Terampil (P3T) Kemenaker dengan menteri Fahmi Idris dan dirjen binapenta Din Syamsuddin dalam bentuk pemagangan di Lembaga Ekonomi Produktif (LEP) yang pesertanya digaji 8 bulan untuk siap terampil dan direkrut perusahaan dan penciptaan Wirausaha Baru (WUB) melalui pelatihan dan pemberian modal kerja. Dikenalnya dan maraknya BMT yang berkembang hingga kini dan lahirnya banyak WUB saat itu di antaranya karena program tersebut. 

Pilar ketiga, pemberdayaan UMKM: akses permodalan untuk koperasi, petani, dan UMKM (menyasar lebih dari 6 juta user debitur kecil) hingga ekonomi rakyat bergerak sebagai mesin pemulihan. Di bawah semuanya itu, pondasi kelembagaan ditancapkan: independensi Bank Indonesia, sehingga arah moneter kredibel dan kebijakan tak terseret tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Tujuan akhirnya jelas: kebijakan berjalan bukan karena tokoh, melainkan karena sistem.

Semangat itu kini dijahit ulang lewat Paket Ekonomi 2025. Di tangan Purbaya, paket ini bukan daftar acak, melainkan toolbox yang disetel menjadi orkestra lintas kementerian: program akselerasi pada 2025, kesinambungan ke 2026, serta fokus penyerapan kerja. Dari sisi permintaan, pemerintah memperkuat daya beli dengan magang bergaji bagi lulusan baru yang rentan, PPh 21 Ditanggung Pemerintah bagi pekerja di ekosistem pariwisata dan padat karya, bantuan pangan untuk keluarga berpenghasilan rendah, serta diskon iuran jaminan sosial bagi pekerja informal seperti pengemudi ojek, sopir, dan kurir. Di sisi penawaran, deregulasi dipacu lewat implementasi aturan perizinan berbasis risiko, digitalisasi tata ruang (RDTR), dan integrasi perizinan ke OSS—memangkas friksi yang selama ini membuat pelaku usaha kehabisan napas sebelum berlari. 

Pemerintah juga menyiapkan program perkotaan yang menghubungkan perbaikan perumahan dengan platform pemasaran UMKM dan ekonomi gig maka hari hari ini di sosmed mulai muncul penawaran rumah dengan KPR bersubsidi yang bisa diakses pekerja sektor informal seperti driver ojol, dsb, mendorong paket pelatihan kerja yang tidak berhenti di sertifikat, melainkan berujung pada pesanan dan pendapatan, dst.

Pengungkit pembiayaan mendapat perhatian khusus. Negara memindahkan likuiditas 200 triliun ke bank milik pemerintah dengan aturan main yang terang: dana itu dipakai untuk menyalurkan kredit, terutama ke koperasi, petani dan UMKM, bukan sekadar diparkir di instrumen keuangan. Tujuannya menurunkan biaya dana, memperbaiki transmisi ke suku bunga, dan mempercepat akses permodalan produktif. 

Agar tak berubah menjadi angka cantik di neraca, penyaluran diarahkan ke sektor riil dengan pelaporan berkala. Di sisi pajak, perpanjangan tarif ringan PPh Final UMKM 0,5 persen untuk beberapa tahun ke depan memberi kepastian usaha, sekaligus memantaskan UMKM naik kelas melalui pembukuan sederhana dan akses kredit berbasis data transaksi. Intinya, fiskal tidak hanya meringankan beban, tetapi juga menyiapkan syarat agar usaha kecil lebih tertib, bankable, dan berdaya saing.

Rohnya sama dengan Habibie: pulihkan dan jaga kepercayaan, lalu pacu pertumbuhan. Bedanya, konteks kita kini bukan krisis moneter yang menuntut terapi gawat darurat, melainkan akselerasi dari stabilitas menuju lompatan. Karena itu, instrumen yang dipilih pun berevolusi: dari penyehatan bank dan program darurat, sekarang menjadi perizinan berbasis risiko, OSS yang terintegrasi, digitalisasi tata ruang, platform ekonomi gig (kerja singkat), dan skema magang bergaji yang menutup jurang keterampilan. Namun benang merahnya tak berubah—kebijakan harus menyentuh hidup sehari-hari sembari memperbaiki aturan main agar dunia usaha berani berekspansi.

Di titik ini saya ingin menambahkan sorotan penting: transformasi ekonomi tidak hanya tentang menggarap segmen sasaran baru (ekstensifikasi), melainkan juga mengoptimalkan segmen yang sudah ada (intensifikasi). Banyak koperasi, kelompok tani, nelayan, dan UMKM telah bertahun-tahun berjuang dengan modal sosial, jaringan anggota, dan pasar lokal yang nyata. 

Kebijakan harus menyuntikkan upgrade kelembagaan bagi mereka: tata kelola yang lebih rapi, literasi keuangan dan digital, standard operating procedure yang sudah teruji dan mudah diikuti, serta sistem akuntansi digital yang membuat mereka bankable  tanpa kehilangan jati diri. Di sisi pasar, pemerintah bisa menjembatani kontrak pembelian dari anchor buyers—ritel modern, hotel-restoran-kafe (Horeka), BUMN, dan belanja pemerintah—agar koperasi dan UMKM tak hanya tampil di etalase, tetapi juga menerima pesanan berulang. Di sisi pembiayaan, kredit murah perlu dibundel dengan pendampingan bisnis, bukan dibiarkan sebagai utang tanpa navigasi. Dengan intensifikasi seperti ini, kebijakan bukan hanya “menambah jumlah penerima”, melainkan mengangkat kualitas pelaku yang sudah eksis supaya produktivitas nasional naik dari dalam.

Sorotan kedua, transformasi tidak bisa dikerjakan oleh unsur struktural pemerintah saja, baik pusat maupun daerah. Kita perlu melibatkan segenap komponen rakyat/masyarakat—ormas, LSM, perguruan tinggi, komunitas profesional, bahkan diaspora—sebagai co-producer kebijakan. Koperasi yang sudah terbukti berjaya perlu dilibatkan sebagai mitra strategis pembelajaran dan kerjasama bisnis. Kampus bisa menjadi living lab yang menguji model bisnis koperasi, mengoptimalkan rantai pasok komoditas, atau merancang scorecard sederhana bagi pengurus. 

Ormas dan LSM dapat berperan sebagai pengorganisasi, pengawas sosial, sekaligus jembatan ke kelompok yang sulit dijangkau birokrasi. Praktisi profesional menutup celah know-how yang tak terjawab oleh pelatihan generik. Ketika seluruh komponen bergerak dalam semangat gotong royong, kebijakan tidak hanya top-down; ia menjadi gerakan sosial-ekonomi yang hidup melaju.

Sorotan ketiga, ruang kreativitas dan inovasi bagi pelaku harus dibuka lebar. Bukan skema tunggal versi pemerintah yang serba seragam, melainkan open architecture kebijakan: matching grant untuk inovasi lokal, sandbox regulasi bagi model bisnis baru, block grant fleksibel untuk koperasi kinerja tinggi, dan kontrak berbasis hasil (outcome-based) bagi pendampingan. Dengan prinsip “tujuan jelas, cara luwes”, pelaku di lapangan—yang paham konteks budaya, geografi, dan kebiasaan setempat—bisa menyesuaikan metode yang paling efektif sesuai pengalaman dan kearifan mereka. Justru di pertemuan antara arah kebijakan nasional dan kreativitas lokal inilah lahir efisiensi dan keberlanjutan. 

Sorotan keempat,  adalah pemetaan dan penataan ekosistem keuangan. Tanpa itu, program baru mudah tumpang tindih bahkan saling mengkanibal. Padahal tiap lapisan pasar—Bank Umum/Syariah, BPD, PNM, BPR/BPRS, Koperasi, LKM/S, BMT, Fintech, hingga Pasar Modal ritel—punya peran berbeda yang harus jelas dan saling melengkapi. Dengan klasifikasi yang rapi, kita tahu siapa fokus di ultra mikro, siapa menopang UMKM, siapa menghubungkan ke investor besar. 

Penataan ini bukan sekadar mencegah persaingan tidak sehat, tetapi memastikan semua simpul saling menguatkan dan memberdayakan. Bila diadu di pasar bebas, tentu yang besar dan kuat akan menyingkirkan yang kecil, dengan suntikan modal besar pemerintah menata dan mendorong kolaborasi unt...

Read Entire Article