Jakarta, CNBC Indonesia - Para buruh mengeluhkan banyaknya potensi pajak baru yang akan dikenakan kepada masyarakat. Padahal saat ini daya beli masyarakat yang masih lesu dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi.
Ketua Koalisi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan kondisi masyarakat terutama kalangan buruh kini makin dihadapi oleh kehidupan yang lebih berat karena banyaknya pengenaan pajak.
"Sekarang lagi ramai pajak di mana-mana tarifnya naik, contohnya saja Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) naik 20%-40%, bahkan ada yang naik hingga 1000%. Rakyat tidak suka, di situasi daya beli turun, konsumsi menurun, kok tarif pajak malah makin naik," kata Said Iqbal dalam konferensi pers, Rabu (20/8/2025).
Bahkan, Ia menyinggung para orang kaya yang justru mendapatkan pengampunan pajak atau tax amnesty, sementara masyarakat biasa justru makin dibebankan oleh banyak pajak.
"Orang kaya diampunin pajaknya melalui Tax Amnesty. Maka kami menuntut adanya reformasi pajak perburuhan. Masyarakat biasa makin dibebani oleh pajak. Kalau pajak dinaikin, uangnya habis di pajak, belanjanya sedikit," tambah Said Iqbal.
Oleh karena itu, Ia menuntut perlu adanya reformasi pajak terutama dikalangan buruh. Adapun tuntutan reformasi pajak perburuhan yakni Pertama menyesuaikan kembali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi para pekerja, dari sebelumnya sebesar Rp 4.500.000 per bulan, menjadi Rp 7.500.000 per bulan.
"Misal kalau disetujui menjadi Rp 7,5 juta rupiah per bulan PTKP-nya, ada selisih Rp 3 juta yang harus dibayar pajak karena PTKP naik, jadi Rp 3 juta itu ditabung oleh buruh oleh pekerja. Buat apa? Belanja, belanja naik, konsumsi naik, daya beli naik," ujarnya.
Kemudian, Ia menuntut untuk menghapus pajak-pajak seperti Tunjangan Hari Raya (THR), pesangon, Jaminan Hari Tua (JHT), karena tidak semua masyarakat mampu ketika pos-pos tersebut dikenakan pajak.
"Contoh THR, kita sudah tahu THR itu habis di ongkos karena yang pulang kampung ketika dapet THR bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk istrinya, anaknya, habis di ongkos, eh dipajakin sama pemerintah," lanjutnya.
Dengan dihapusnya pos-pos tersebut dari pengenaan pajak, maka pemerintah dapat memaksimalkan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Apalagi jika daya beli meningkat lagi akibat pajak dari pos-pos tersebut dihapus.
"Pemerintah bisa maksimalkan dari PPN. Jadi hanya substitusi agar daya beli naik. Ketika daya beli naik, maka produksi juga bisa naik, PHK berkurang drastis, dan akan terjadi proses perekrutan pekerja," pungkasnya.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lengkap, Ini Tuntutan 4 Bos Buruh Langsung di Hadapan Prabowo