Washington (ANTARA) - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Kamis (21/8), menyatakan sedang meninjau catatan lebih dari 55 juta warga asing pemegang visa sah AS guna menentukan kemungkinan pencabutan atau pelanggaran.
“Melarang masuk ke Amerika Serikat bagi mereka yang berpotensi mengancam keamanan nasional atau keselamatan publik merupakan kunci untuk melindungi warga AS di dalam negeri,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri dalam tanggapannya kepada Anadolu.
Ia menegaskan bahwa pemeriksaan berkelanjutan mencakup semua pemegang visa sah, yang jumlahnya lebih dari 55 juta orang.
Juru bicara itu menambahkan, di bawah pemerintahan Trump, pencabutan visa dilakukan dalam kasus pengunjung asing yang tinggal melebihi izin masuk, terlibat aktivitas kriminal, memberikan dukungan material kepada organisasi teroris, atau melanggar hukum AS.
Langkah tersebut diambil ketika pemerintahan Trump meningkatkan penindakan terhadap imigran dan mahasiswa asing, termasuk mereka yang mengikuti aksi protes pro-Palestina di kampus.
Pada Selasa, pemerintahan Trump mengumumkan akan mulai menelusuri pandangan “anti-Amerika”, termasuk di media sosial, saat menilai aplikasi kewarganegaraan AS maupun manfaat imigrasi lainnya.
Awal pekan ini, Departemen Luar Negeri menyebut bahwa sejak Donald Trump kembali ke Gedung Putih, lebih dari 6.000 visa mahasiswa telah dicabut, termasuk ratusan yang terkait dengan dugaan terorisme.
Namun, langkah itu menghadapi hambatan hukum.
Mahmoud Khalil, penduduk sah AS yang memimpin protes pro-Palestina di Universitas Columbia, dibebaskan oleh hakim pada Juni setelah visanya dicabut.
Pada Mei, seorang hakim juga memblokir deportasi Rumeysa Ozturk, mahasiswa doktoral asal Turki di Universitas Tufts, yang menulis artikel kritis terhadap Israel di surat kabar mahasiswa kampus tersebut.
Baca juga: Trump siapkan tes kewarganegaraan AS lebih sulit, Ini dampaknya
Baca juga: Deplu AS minta pemohon visa buka akses media sosial
Penerjemah: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.