Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, aktris Acha Septriasa membagikan momen kedekatan dengan sang putri, Bridgia Kalina Kharisma alias Brie, dalam sebuah unggahan video di Instagram pribadinya. Namun, ada satu hal yang membuat warganet salah fokus (salfok), yaitu penggunaan tanda pagar (hastag) #coparenting.
Hastag tersebut langsung memunculkan dugaan bahwa Acha Septriasa cerai dari sang suami, Vicky Kharisma. Banyak yang bertanya-tanya, apakah benar rumah tangga pasangan ini telah berakhir?
Lantas, apa sebenarnya arti co parenting hingga membuat warganet berspekulasi bahwa Acha dan Vicky telah bercerai?
Mengutip Verywell Mind, co parenting adalah bentuk kerja sama antara dua orangtua dalam membesarkan anak, meskipun mereka sudah tidak lagi menikah atau menjalin hubungan romantis.
Dalam konteks ini, kedua orangtua tetap terlibat secara aktif dalam kehidupan anak demi kesejahteraan sang buah hati.
"Penambahan, pengurangan, atau transisi figur orangtua bisa sangat sulit bagi anak-anak," ujar Psikolog Klinis dan Profesor di Yeshiva University, Sabrina Romanoff, PsyD, seperti dikutip dari Verywell Mind pada Kamis, 7 Agustus 2025.
Dia menambahkan bahwa mencontohkan hubungan yang kooperatif dan penuh saling menghormati antara orangtua, meskipun telah bercerai, dapat membantu perkembangan jangka panjang anak.
Menyadari anaknya fasih berbahasa Inggris, Acha Septriasa dan suami berusaha mengajarkan Bahasa Indonesia. Yuk, lihat cerita selengkapnya di video di atas!
Jenis-Jenis Co Parenting
Para peneliti telah mengidentifikasi tiga jenis utama hubungan co parenting pasca-perceraian, yakni:
Co Parenting yang Berkonflik
Dalam pengaturan co parenting ini, orangtua sering mengalami konflik dan komunikasi yang buruk satu sama lain.
Mereka mungkin memiliki jadwal, gaya pengasuhan, aturan, dan prioritas yang berbeda, dan mungkin tidak dapat mencapai kesepakatan tentang kebutuhan atau rutinitas harian anak mereka.
"Pengasuhan bersama yang berkonflik dapat menyulitkan anak-anak, karena mereka mungkin merasa terjebak di tengah-tengah perselisihan orangtua mereka," mengutip penelitian Co-parenting after marital dissolution and children's mental health: a systematic review oleh Lamela D dan Figueiredo B.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengasuhan bersama yang berkonflik dapat meningkatkan risiko anak mengalami masalah perilaku serta masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan tekanan psikologis.
Co Parenting yang Kooperatif
Dalam pengaturan co parenting yang kooperatif, kedua orangtua bekerja sama untuk membuat keputusan terkait pengasuhan anak mereka.
Pengaturan ini melibatkan komunikasi yang teratur, berbagi informasi tentang kebutuhan dan perkembangan anak mereka, dan mengoordinasikan jadwal untuk memastikan bahwa anak menghabiskan waktu berkualitas dengan kedua orangtua.
Pengasuhan bersama yang kooperatif dapat bermanfaat bagi anak-anak karena menyediakan lingkungan yang stabil, konsisten, dan suportif.
Penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan bersama yang kooperatif berkaitan dengan harga diri yang lebih tinggi, peningkatan prestasi akademik, dan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan pada anak-anak.
Co Parenting Paralel
Co parenting paralel berarti kedua orangtua beroperasi secara independen, dengan sedikit komunikasi, keterlibatan, kerja sama, atau konflik satu sama lain.
Rutinitas rumah tangga dan aturan pengasuhan mereka seringkali berbeda satu sama lain, yang dapat menyebabkan kurangnya konsistensi dalam kehidupan anak. Kesamaan dalam aturan atau rutinitas seringkali tidak direncanakan atau disengaja.
"Penting untuk dicatat bahwa pengaturan pengasuhan bersama dapat bersifat fleksibel dan dapat berubah seiring waktu seiring dengan perkembangan dinamika dan keadaan masing-masing orangtua," mengutip penelitian Patterns and predictors of co-parenting after unmarried parents part oleh Goldberg JS dan Carlson MJ.